Sabtu, 10 Januari 2009

Beberapa Contoh Kebijakan Pertanian untuk Pengentasan Kemiskinan

Beberapa Contoh Kebijakan Pertanian untuk Pengentasan Kemiskinan



Kebijakan pertanian adalah salah satu dari kegiatan untuk masyarakat (public action) yang bertujuan peningkatan taraf hidup secara umum, melalui perbaikan kesempatan ekonomi bagi para petani dan pengembangan struktur progresif dalam kehidupan masyarakat, termasuk rekayasa sistem kelembagaan yang diperlukan sebagai pendukung.

Merumuskan suatu kebijakan untuk pembangunan pertanian berarti menentukan strategi untuk mengkondisikan faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan pertanian agar dapat mencapai keadaan yang diinginkan. Upaya mencapai keadaan yang diinginkan ini harus memenuhi kriteria berikut:

(1) Secara teknis dapat dilaksanakan, artinya teknologi, alat dan keterampilan yang ada dapat dan memadai untuk menjalankan strategi tersebut.

(2) Secara ekonomi menguntungkan, artinya penerapan strategi ini secara finansial memberikan net benefit pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

(3) Secara sosiologis dapat dipertanggungjawabkan, artinya penerapan strategi ini tidak membuat komunitas masyarakat menjadi terganggu keseimbangan harmoninya.

(4) Secara ekologis berkelanjutan, artinya penerapan strategi ini ramah lingkungan dan tidak menyebabkan terjadinya kerusakan pada sistem keseimbangan lingkungan alami.

Secara garis besar kebijakan pertanian memberikan fokus penekanan pada tiga bidang utama yaitu:

(1) Farm (usahatani) yaitu bidang kebijakan yang didasarkan pada kenyataan bahwa pertanian adalah usaha keluarga dan karena itu pembangunan pertanian tidak bisa terlepas dari pembangunan keluarga petani secara utuh.

(2) Price Parity (pasangan harga) yaitu bidang kebijakan yang diarahkan untuk memperoleh tingkat harga yang wajar bagi produk pertanian relatif terhadap produk-produk sektor lainnya dalam perekonomian.

(3) Bargaining Position (posisi tawar) yaitu bidang kebijakan yang dimaksudkan untuk membantu memperkuat posisi petani sehingga mereka dapat memperoleh insentif yang layak untuk usaha yang mereka jalankan.

Sedangkan menurut orientasinya kebijakan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu:

(1) Kebijakan Pengembangan(development policy) dan

(2) Kebijakan Kompensasi (compensating policy).

Berikut ini diberikan beberapa contoh kebijakan yang dijalankan pemerintah dalam rangka pembangunan pertanian untuk pengentasan kemiskinan. Semua kebijakan yang dicontohkan ini merupakan kebijakan tidak langsung yang bersifat makro.

9.7.1. Kebijakan Harga

Kebijakan inimerupakan salah satu kebijakan yang terpenting di banyak negara dan biasanya digabung dengan pendapatan sehingga disebut kebijakan harga dan pendapatan (price and income policy). Segi harga dari kebijakan itu bertujuan untuk mengadakan stabilisasi harga, sedangkan segi pendapatannya bertujuan agar pendapatan petani tidak terlalu berfluktuasi ari musim ke musim dan dari tahun ke tahun. Kebijakan harga dapat mengandung pemberian suatu penyangga (support) untuk hasil-hasil pertanian supaya tdak merugikan petani atau langsung sejumlah subsidi tertentu bagi petani. Di banyak negara Eropa, Amerika Serikat, Jepang, Australia dan lain-lain, banyak sekali hasil-hasil pertanian seperti gandum, kapas, padi, gula biet dan lain-lain yang mendapat perlindungan pemerintah berupa penyangga dan subsidi. Indonesia baru mempraktikan kebijakan harga untuk beberapa hasil sejak tahun 1969. Secara teoritis kebijakan harga dapat dipakai mencapai tiga tujuan yaitu :

(1) Stabilisasi harga-hasil hasil pertanian terutama pada tingkat petani.

(2) Mening katkan pendapatan petani melalui perbaikan nilai tukar (term of trade).

(3) Memberikan arah dan petunjuk pada jumlah produksi.

Kebijakan harga di Indonesia ditekankan pada tujuan yang petama. Stabilisasi harga hasil-hasil pertanian dalam keadaan harga-harga umum yang stabil berarti pula kestabilan pendapatan. Tujuan yang kedua banyak sekali dilaksanakan bagi hasil-hasil ppertanian di negara-negara maju dengan alasan pokok pendapatan rata-rata sektor pertanian terlalu rendah dibandingkan penghasilan di luar sektor pertanian. Memang dengan diperkenalkan berbagai mesin pertanian maka produktivitas dan prodksi pertanian di negara-negara tersebut mengalami kemajuan yang sangat pesat sehingga harga-harga menurun. Dalam keadaan demikian kebijakan harga dipergunsksn untuk menghambat penurunan harga-harga tersebut baik dengan jalan mengurangi penawaran maupun menambah permintaan di pasar.

Tujuan yang kedua ini sukar dilaksanakan di negara-negara yang jumlah petaninya berjuta-juta dan terlalu kecil-kecil seperti di Indonesia karena persoalan administrasinya sangat kompleks. Karena pada prinsifnya kebijakan harga yang demikian ini merupakan usaha memindahkan pendapatan dari golongan bukan pertanian ke golongan pertanian, maka hal ini bisa dilaksanakan dengan mudah dinegara-negara yang sudah maju dan kaya, dimana golongan penduduk di luar pertanian jumlahnya jauh lebih besar dengan pendapatan yang jauh lebih tinggi daripada golongan penduduk pertanian. Di negara-negara ini penduduk sektor pertanian rata-rata hanya merupakan di bawah 10% dari seluruh penduduk, sedangkan di negara kita masih antara 60%-70%.

Tujuan kebijakan yang ketiga dalam praktik dilaksanakan di negara-negara yang sudah maju bersamaan dengan tujuan kedua yaitu dalam bentuk pembatasan jumlah produksi dengan pembayaran kompensasi. Berdasarkan ramalan harga, pemerintah membuat perencaan produksi dan petani mendapat pembayaran kompensasi untuk setiap hektar tanah yang diistirahatkan. Di negara kita dimana hasil-hasil pertanian pada umumnya belum mencukupi kebutuhan, maka kebijakan yang demikian tidak relevan.

Di samping kebijakan harga yang menyangkut hasil-hasil pertanian maka peningkatan pendapatan petani dapat dicapai dengan pemberian subsidi pada harga sarana-sarana produksi seperti pupuk/insektisida. Subsidi ini mempunyai pengaruh untuk menurunkan biaya produksi.

Dalam ekonomi pertanian masalah harga dan analisis harga merupakan pokok bahasan yang sangat penting. Harga adalah hasil akhir bekerjanya sistem pasar, yaitu bertemunya gaya-gaya permintaan dan penawaran, antara pembeli (konsumen) dan penjual (produsen). Karena permintaan penawaran merupakan indikator perkembangan dan preferensi konsumen dan produsen, maka harga yang merupakan hasil akhir bekerjanya sistem pasar juga dianggap sebagai indikator penting bagi konsumen dan produsen. Dengan demikian berarti harga pasar menjadi pedoman bagi konsumen untuk melaksanakan putusan pembelian atau konsumsinya, dan juga bagi produsen untuk melaksanakan produksi dan penjualan di pasar.

Yang dimaksud dengan kebijaksanaan harga dalam uraian kita sekarang adalah kebijaksanaan pertanian yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam bidang harga-harga di dalam pertania. Baik yang menyangkut produk (produk pertanian) maupun sarana produksi (input). Jadi kebijaksanaan harga di sini menyangkut masalah sebagaimana pemerintah mengatur dan menetapkan kebijaksanaan harga dasar (minimum) dan harga tertinggi (maksimum) padi atau palawija, bagaimana menetapkan kebijaksanaan harga produk, harga atau pungutan atas air irigasi, dan lain-lain.

Laju inflasi yang tinggi pada tahun 1966 (650 persen) menyadarkan pemerintah untuk mulai mengendalikan ‘harga pangan’ karena sekitar separoh dari pengeluaran masyarakat untuk makanan adalah berupa beras atau sekitar 30 persen dari seluruh pengeluaran biaya hidup.

Oleh karena itu pada tahun 1967 lahir sebuah konsep kebijaksanaan harga beras yang diajukan oleh Saleh Afiff dan Leon Mears yang memuat lima prinsip sebagai berikut,

(1) perlu ada harga dasar (floor price) yang cukup merangsang produksi,

(2) perlu ada harga maksimum (ceiling price) yang melindungi konsumen,

(3) perlu ada selisih yang memadai antara harga dasar dan harga maksimum untuk merangsang perdagangan oleh swasta,

(4) perlu ada relasi harga antar-daerah, perlu isolasi harga terhadap pasaran dunia dengan fluktuasi yang lebar, (dalam jangka panjang) perlu korelasi tertentu dengan harga luar untuk memperkecil subsidi impor beras, dan

(5) disarankan pula adanya stok penyangga (buffer stock) yang dikuasai pemerintah.

Dengan kata lain, kebijaksanaan pemerintah selalu didasarkan pada macam-macam pertimbangan dan juga biasanya ingin mencapai beberapa tujuan sekaligus. Misalnya saja dalam kebijaksanaan stok dan harga pangan yang ditugaskan pada Bulog (Badan Urusan Logistik) sesuai Keppres No.11/1969 pada 22 Januari 1969, dinyatakan bahwa sasaran utama program Bulog adalah: mempertahankan harga minimum beras, dan menjaga kestabilan harga beras agar tidak melampaui tingkat maksimum.

Kedua sasaran tersebut tampaknya tidak ‘bertentangan’ satu sama lain, karena yang pertama menyangkut perangsang bagi produsen padi, sedangkan yang kedua menyangkut perlindungan pada konsumen. Namun dalam kenyataan, keduanya bisa ‘bertentangan’ satu sama lain.

Dengan sasaran “menjamin kestabilan harga”, maka pertimbangan pemerintah di samping aspek perlindungan kepada konsumen adalah mengendalikan inflasi melalui pengendalian tingkat inflasi serendah mungkin. Dengan pengendalian inflasi melalui pengendalian harga beras berarti harus “menekan” harga beras baik secara langsung dengan memberikan subsidi atas beras impor maupun dengan menjual tepung terigu jauh di bawah harga yang biasanya berlaku.

Pada tahun 1968, lahirlah konsep kebijaksanaan harga dasar (floor price) dengan nama “rumus Tani”. Rumus Tani ini dapat mengungkapkan penentu kebijakan untuk memperhatikan hubungan antara harga sarana produksi yang terpenting yaitu pupuk dengan harga hasil produksi. dengan kata lain, Rumus Tani adalah satu pedoman perhitungan dalam membandingkan harga beras yang dijual oleh petani dengan harga pupuk yang dibeli. Rumus Tani ini telah mengoperasionalkan pengertian harga dasar yang telah disarankan oleh Saleh Afiff dan Mears. Karena pupuk pada saat itu (196 8) hampir semuanya harus di impor, maka harga beras yang dianggap “wajar” atau ‘merangsang’ dihitung sebagai berikut :

1,5 A.B

P =

2

di mana :

P = harga minimum padi yang diproduksi (Rp per kilogram)

A = harga CIF pupuk urea yang diimpor (dalam US $)

B = kurs BE (pasar bebas) yang berlaku dalam rupiah per US $.

Dalam rumusan tersebut terdapat angka satu setengah yang berarti bahwa harga pupuk urea dalam rupiah di pelabuhan (CIF) harus dikalikan satu setengah sampai data tingkat petani karena ongkos pengangkutan dan biaya-biaya pelabuhan. Angka pembagi dua menyatakan perbandingan antara padi dan beras; artinya dua kilogram padi kering sama dengan satu kilogram beras.

Sebagai suatu pedoman kasar, rumus tani pada waktu itu dapat dianggap memadai terutama bagi pelaksanaan program Bimas yang hendak digalakkan. Program Bimas yang terutama berisi paket kredit dapat mudah dihitung dengan cara perbandingan 1:1 yaitu petani dianggap akan terrangsang mempergunakan pupuk (dan bibit unggul) untuk meningkatkan produksi bila harga pupuk yang harus dibelinya sama atau lebih rendah dari beras yang berlaku pada saat itu.

Secara obyektif rumus tersebut masih banyak kekurangannya karena tidak memperhatikan faktor harga beras internasional dan perbedaan yang mungkin diperlukan antara daerah-daerah yang begitu luas di Indonesia. Namun demikian rumus itu cukup bermanfaat pada saat itu untuk membantu pemerintah yang belum betul-betul siap dalam penguasaan sarana atau dana yang diperlukan bila harga beras pada saat panen benar-benar jatuh di bawah harga (dasar).

Kebijaksanaan harga biasanya ditujukan untuk dua pihak yaitu produsen dan konsumen. Salah satu tugas pemerintah cimanapun dan dalam sistem ekonomi apapun ialah mengusahakan agar rakyat (konsumen) dapat memenuhi kebutuhannya, terutama kebutuhan pokoknya.

Ditinjau dari tugas pemerintah yang demikian, maka dalam kebijaksanaan harga pemerintah berkewajiban agar harga-harga kebutuhan pokok rakyat terjangkau oleh daya beli mereka. Dalam hal kebutuhan seperti beras misalnya dianggap wajar, sehingga pemerintah mengusahakan agar harga tersebut tidak dilampaui.

Usaha untuk menetapkan semacam harga maksimum (ceiling price) ini dilakukan pemerintah dengan berbagai cara, misalnya dengan kebijaksanaan pengadaan, dengan pemberian subsidi harga atau dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan lainnya yang pada prinsipnya bertujuan sama. Perlindungan harga konsumen yang berupa subsidi ini tidak hanya terjadi pada beras, tetapi dapat ditemukan juga pada komoditas-komoditas lain seperti tepung, gandum, atau pupuk.

9.7.2. Kebijakan Pemasaran

Di samping kebijakan harga untuk melindungi petani produsen maka pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan khusus dalam kelembagaan perdagangan dengan tujuan yang sama, tetapi dengan tekanan pada perubahan rantai pemasaran dari produsen ke konsumen, dengan tujuan utama untuk memperkuat daya saing petani. Di negara-negara Afrika seperti Nigeria dan Kenya apa yang dikenal dengan nama badan Pemasaran Pusat (Central marketing board) berusaha untuk mengurangi pengaruh fluktuasi harga pasar dunia atas penghasilan petani. Badan pemasaran ini sangat berhasil di Inggris yang dimulai sesudah deprisi besar pada tahun 1930 untuk bulu domba, milk, telur dan kentang. Di nnegara kita pembentukan sindikat dan PT eksportir kopi, badan pengurus kopra, badan pemasaran lada, pada prinsipnya mempunyai tujuan yang sama dengan badan-badan pemasaran pusat di Afrika dan Inggris itu.

Masalah yang dihadapi di negara kita adalah kurangnya kegairahan berproduksi pada tingkat petani, tidak adanya keinginan untuk mengadakan penanaman baru, dan usaha-usaha lain untuk menaikan produksi karena presentase harga yang diterima oelh petani relatif rendah dibandingkan dengan bagian yang diterima golongan-golongan lain.

Badan-badan pemasaran yang dibentuk dimaksudkan untuk memberikan jaminan harga yang minimum yang stabil pada petani. Sehubungan dengan usaha memperkuat kedudukan pengusaha eksportir lemah telah diambil kebijakan kredit, yaitu dengan memberikan kredit dengan bunga yang relatif rendah dan menyederhanakan prosedur ekspor maka kebijakan pemasaran hasil-hasil tanaman perdagangan untuk ekspor maka kebijakan ini meliputi pula pengaturan distribusi sarana-saran produksi bagi petani pemerintah berusaha menciptakan persaingan yang sehat diantara para pedagang yang melayani kebutuhan petani seperti pupuk, peptisida dan lain-lain sehingga petani akan dapat membeli saran-saran produksi tersebut dengan harga yang tidak terlalu tinggi.

Kebijakan pemasaran merupakan usaha campurtangan pemerintah dalam bekerjanya kekuatan-kekuatan pasar. Disatu pihak pemerintah dapat mengurangi pengaruh kekuatan-kekuatan pasar supaya tidak terlalu merugikan para pedagang dan petani, tetapi dipihak lain persaingan dapat didorong untuk mencapai efisiensi ekonomi yang tinggi. Dalam hal yang terakhir ini berarti pemerintah memberi arah tertentu di dalam bekerjanya gaya-gaya pasar. Dalam praktek kebijakan pemasaran dilaksanakan secara bersamaan dengan kebijaksanaan harga.

9.7.3. Kebijakan Struktural

Kebijakan strukturil dalam pertanian dimaksudkan untuk memperbaiki struktur produksi misalnya luas pemilikan tanah, pengenalan dan penguasaan alat-alat pertanian yang baru dan perbaikan prasarana pertanian pada umumnya baik prasarana fisik maupun sosial ekonomi.

Kebijakan strukturil ini hanya dapat terlaksana dengan kerjasama yang erat dari beberapa lembaga pemerintah. Perubahan struktur yang dimaksud disini tidak mudah mencapainya dan biasanya memakan waktu yang lama. Hal ini disebabkan karena sifat fisik usaha tani yang tidak saja merupakan unit usaha ekonomi tetapi juga merupakan bagian kehidupan petani dengan segala aspeknya. Oleh sebab itu tindakan ekonomi saja tidak akan mampu mendorong perubahan struktur dalam sektor pertanian sebagai mana dapat dilaksanakan dengan penyuluhan-penyuluhan yang intensif adalah merupakan pula satu contoh dari kebijakan ini. Kebijakan pemasaran yang telah disebutkan di atas sebenarnya dimaksudkan pula untuk mempercepat proses perubahan strukturil di sektor pertanian dalam komoditas komoditas pertanian.

Persoalan yang selalu tidak mudah diatasi adalah persoalan keadilan. Hampir setiap kebijakan jarang akan disambut dengan baik oleh semua pihak. Selalu ada saja pihak yang memperoleh manfaat lebih besar dari fihak lainnya bahkan ada yang dirugikan. Itulah sebabnya masalah kebijakan pertanian bukanlah terletak pada banyak sedikitnya campur tangan pemerintah melainkan pada berhasil tidaknya kebijakan mencapai sasarannya dengan sekaligus mencari keadilan bagi pihak-pihak yang bersangkutan.

Oleh sebab itu kebijakan pertanian yang baik adalah yang dapat mencapai tujuan nasional untuk menaikan produksi secara optimal dengan perlakuan yang adil pada pihak-pihak yang bersangkutan. Walaupun jelas sekali kebijakan pertanian yang berupa peraturan-peraturan itu mutlak diperlukan bagi kepentingan semua pihak, namun haruslah peraturan-peraturan itu tidak berlebih-lebihan. Peraturan yang berlebihan tidak saja akan merusak hubungan pasar yang sehat yang sangat diperlukan bagi kemajuan dan efisiensi ekonomi, tetapi bahkan dapat pula mematikan semangat dan inisiatif perseorangan dalam berusaha.

9.7.4. Kebijakan Inpres Desa Tertinggal (IDT)

Kebijakan IDT diperlukan untuk meningkatkan penanganan kemiskinan secara berkelanjutan di desa-desa tertinggal. IDT merupakan program khusus yang telah ada di pedesaan atau perkotaan, oleh karena itu diharapkan agar IDT dapat dipadukan dengan bauk dengan program-program sektoral. IDT diperlukan juga untuk menyukseskan program peemerataan karena dengan IDT diharapkan dapat memobilisasi kemampuan masyarakat kecil secara lebih besar dan IDT tersebut dilaksanakan secara langsung oleh masyarakat sehingga masyrakat diharapkan mampu meningkatkan wawasan, kebersamaan dan partisipasi terhadap kegiatan yang mereka lakukan.

Untuk maksud agar dapat berjalan dengan baik, IDT dapat dipersiapkan matang sekali dengan menugaskan tim nasional (aparat setempat) untuk menyusun konsep IDT yang sesuai dengan problem yang ada. Selanjutnya dilakukan pelatihan, dengan maksud agar semua aparat (petugas) terlibat melaksanakan IDT sehingga mempunyai persepsi yang sama terhadap konsep IDT yang sesuai dengan problem yang ada. Selanjutnya dilakukan pelatihan, dengan maksud agar semua aparat (petugas) terlihat melaksanakan IDT sehingga mempunyai persepsi yang sama terhadap konsep IDT.

Bila terjadi persepsi yang tidak sama baik dari kalangan birokrat atau pejabat yang ditugasi melaksanakan IDT maupun persepsi dari golongan miskin itu sendiri. Karena itu perlu terus dilakukan pemasyarakatan IDT secara lebih luas liputannya. Bila terjadi kebutuhan yang sebenarnya dari masyarakat miskin itu tidak diketahui karena dominannya petugas, sehingga apa yang benar-benar dibutuhkan tidak diketahui, tetapi justru kegiatan dari keinginan petugas. Karena itu perlu penyuluh yang terus-menerus agar terjadi hubungan yang kuat antara petugas dan golongan miskin

Ada 4 tujuan IDT yaitu :

(1) Memadukan gerak langkah semua instansi,lembaga pemerintah, masyarakat dan dunia usaha untuk mendukung program penanggulangan kemiskinan.

(2) Membuka peluang bagi penduduk miskin untuk melakukan kegiatan produktif dengan bantuan modal kerja

(3) Mengembangkan, meningkatkan dan memantapkan kehidupan ekonomi penduduk miskin melalui penyediaan dana bantuan

(4) Meningkatkan kesadaran, kemauan, tanggungjawab, rasa kebersamaan, harga diri dan percaya pada diri penduduk miskin di masyrakat. Dengan ini sumberdaya manusia dan sumberdaya alam diharapkan akan mencapai suatu pembangunan yang berkesinambungan.

Pengembangan Tata Guna Lahan

Pengembangan Tata Guna Lahan

Pembangunan ekonomi dan pertumbuhan penduduk Indonesia telah menimbulkan persaingan antar sektor ekonomi dalam hal penggunaan sumber daya pertanian. Hal ini tentunya akan membuat tantangan pembangunan pertanian di masa datang semakin berat, dimana tekanan terbesar dari terjadinya dinamika tersebut berakibat terhadap sumber daya lahan dan air.

Hermanto (1997) menyatakan dinamika perubahan terhadap sumber daya lahan dan air dicirikan oleh pesatnya penyusutan lahan pertanian produktif, meningkatnya degradasi lahan pertanian dan meningkatnya kekurangan antar musim dan antar daerah.

Hasil penelitian Adiningsih melalui penggunaan data citra lahan satelit memprediksi bahwa penyusutan lahan baku sawah di Jawa tahun 1997 mencapai 370.000 hektar, sehingga tingkat produksi cenderung menurun sekitar 200.000 ton per tahun (Kasryno, 1999). Sebagai upaya mengkompensasi semakin menyusutnya lahan subur pertanian di Jawa, maka perluasan usaha pertanian di luar Jawa perlu digalakkan. Disamping lahan basah, lahan-lahan di luar Jawa masih cukup luas dengan potensi yang cukup besar untuk penggunaan pertanian.

Adanya pengembangan atau perubahan tata guna lahan ini secara langsung atau tidak langsung dapat berpengaruh kepada pemberdayaan petani, karena seperti diketahui bersama lahan merupakan tempat berusaha yang utama bagi para petani.

Struktur Pemilikan dan Penguasaan Lahan

Struktur Pemilikan dan Penguasaan Lahan

Secara umum lahan pertanian produktif mengalami penyusutan sebagai konsekuensi berkembangnya aktivitas sektor perekonomian nasional yang juga menuntut ketersediaan lahan serta infrastruktur yang relatif memadai. Konflik antar sektor ekonomi atas penggunaan lahan masih terus berlangsung seiring dengan pelaksanaan proses pembangunan, dan fenomena ini kebanyakan menempatkan sektor pertanian pada posisi yang relatif kurang menguntungkan. Suatu hal hal yang logis dalam pembangunan dimana pilihan cenderung akan bias terhadap sektor-sektor kegiatan yang mampu memberikan nilai sewa atau rente ekonomi paling tinggi. Namun demikian terkonsentrasinya penduduk Indonesia yang hidup dan bekerja di sektor pertanian harus dijadikan pijakan yang penting dalam kebijakan pembangunan nasional.

Program perluasan areal sawah di luar Jawa merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam upaya mengkompensasi penyusutan lahan pertanian produktif di Pulau Jawa, namun upaya tersebut terasa masih kurang efektif dan sangat lambat. Oleh karenanya kapasitas produksi dan produktivitas pertanian nasional terus mengalami penurunan, seiring dengan kepemilikan lahan pertanian oleh petani yang semakin kecil.

Perubahan pengusaaan lahan pertanian dari Sensus pertanian 1983 dan 1993 menunjukan adanya peningkatan rumah tangga tani pemilikan lahan dri 15,9 juta rumah tangga menjadi 18,0 juta rumah tangga. Sementara itu dalam periode yang sama terjadi penurunan luas lahan peranian dari 16,7 juta hektar menjadi 13,4 juta hektar, yang mengakibatkan rata-rata pemilikan lahan per rumah tangga turun dari 1,09 hektar menjadi 0,74 hektar. Akibat langsung dari kedua hal tersebut adalah semakin bertambahnya petani berlahan sempit (gurem), yakni petani yang memiliki lahan kurang dari o,5 hektar, dari 6,5 juta rumah tangga menjadi 8,7 juta rumah tangga (48% dari total rumah tangga tani pemilik lahan).

Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Petani

Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Petani

Dalam konteks ketahanan pangan, petani adalah`salah satu komponen penting yang harus diperhatikan dan diberdayakan agar dapat diperoleh hasil yang maksimal. Upaya pemberdayaan petani yang mulai terlihat dari paradigma baru program ketahanan pangan, tentunya bukanlah merupakan hal yang mudah untuk dilakukan, akan tetapi merupakan suatu hal yang sudah selayaknya dilakukan agar program ketahanan pangan dapat berjalan dengan baik, sehingga kesejahteraan masyarakat petani khususnya dapat semakin meningkat.

Kasryno (2002) menyatakan berdasarkan hasil kajian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian (PSE, 2002) menunjukan bahwa secara konseptual maupun empiris sektor pertanian layak untuk dijadikan sebagai sektor andalan ekonomi nasional, dan termasuk sebagai sektor yang berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani. Namun yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah kondisi sumberdaya sektor pertanian saat ini mampu menangkap peluang tersebut. Seperti diketahui sampai saat ini sektor pertanian masih menghadapi beberapa kendala dalam memanfaatkan secara optimal sumber daya pertanian sendiri seperti lemahnya sumber daya manusia, kelembagaan dan sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka strategi ke depan minimal dapat dilakukan peningkatkan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia masyarakat pertanian, dan pengembangan kelembagaan petani.

Secara konseptual kerangka pemikiran upaya pemberdayaan petani ini paling tidak ada 6 (enam) faktor atau komponen yang harus diperhatikan, yaitu:

(1) Akses sumber daya (meliputi lahan, pantai dan laut, hutan)

(2) Modernisasi pertanian (meliputi teknologi dan sumber daya manusia),

(3) Sistem usaha pertanian (meliputi pertanian dan industri, kelembagaan usaha),

(4) pembiayaan pertanian (meliputi berbagai proyek pemerintah),

(5) pengembangan lembaga keuangan pedesaan (meliputi KUD, Bank berbasis pedesaan),

(6) Investasi dan pembentukan model permberdayaan pertani.

Dengan adanya pemberdayaan petani ini akan mampu menopang tercapainya program ketahanan pangan, peningkatan pendapatan petani dan perbaikan kesejahteraan penduduk pedesaan. Gambaran tentang kerangka pemikiran pemberdayaan petani ini tersaji pada Gambar 7.


1. Akses Sumber Daya

Lahan Pantai dan laut

Hutan

6. Investasi dan Pembentukan Model Pertanian

5. Pengembangan Lembaga Keuangan Pedesaan

KUD

Bank berbasis Pedesaan

Pemberdayaan Pertanian Petani

3. Sistem Usaha Pertanian

Pertanian dan industri

Kelembagaan usaha

Ketahanan Pangan

2. Modernisasi Pertanian

SDM

Teknologi

4. Pembiayaan Pertanian

berbagai proyek pemerintah

Gambar 7. Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Petani


Dari Gambar 7 tersebut terlihat bahwa untuk keberhasilan pemberdayaan petani diperlukan keterpaduan secara serasi dari keenam faktor atau komponen dimaksud. Skala prioritas dari masing-masing faktor tersebut tentu saja sangat tergantung dengan situasi dan kondisi petani yang ada baik menyangkut sosial, ekonomi dan budaya setempat.

Upaya pemberdayaan petani dan usaha kecil dipedesaan melalui berbagai program dan proyek sebenarnya bukanlah hal yang baru kali ini dilaksanakan oleh pemerintah. Program ini secara parsial telah dilaksanakan baik berupa program langsung, tidak langsung dan program khusus. Namun, pada pelaksanaan kali ini diharapkan bahwa dengan keberpihakan terhadap pemberdayaan usaha kecil di sektor pertanian, akan mendorong timbulnya saling berkesinambungan berbagai usaha (Sudaryanto, dkk. 2002).

Menurut Kasryno (2002) pembangunan pertanian haruslah dapat meningkatkan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan secara dinamis. Dengan demikian pembangunan pertanian harus meningkatkan partisipasi aktif petani dan masyarakat pedesaaan melalui pemanfaatan secara optimal sumber daya pertanian menggunakan teknologi maju ramah lingkungan oleh sumber daya manusia petani yang profesional. Dengan strategi pembangunan pertanian yang demikianlah dapat dihilangkan adanya dualisme antara desa dan kota dalam perekonomian Indonesia.

Profil Usaha Tani dan Kualitas Petani

Profil Usaha Tani dan Kualitas Petani

Kenyataan sulitnya membendung konversi lahan pertanian sebenarnya adalah hal yang alami. Proses konversi ini bagaimanapun juga akan terjadi, karena prinsip yang mendasari terjadinya adalah bahwa lahan akan dikonversi ke arah penggunaan lain yang memberikan nilai sewa (rent) yang lebih besar. Lahan untuk hutan akan dikonversi menjadi lahan pertanian dan perkebunan, karena yang terakhir ini dapat memberikan nilai keuntungan bagi sumberdaya lahan atau nilai sewa yang lebih besar. Selanjutnya lahan pertanian dan perkebunan akan dikonversi menjadi lahan-lahan industri. Lahan-lahan industri pada gilirannya akan dibeli oleh pengembang yang akan membangun komplek-komplek perumahan dan pemukiman. Perjalanan selanjutnya lahan pemukiman akan dibeli untuk kemudian dikonversi menjadi lahan untuk gedung-gedung pertokoan dan aktivitas perdagangan lainnya. Demikian seterusnya sampai pada aktivitas yang memberikan nilai sewa tertinggi pada lahan yaitu aktivitas jasa-jasa perusahaan.

Mengantisipasi keadaan tersebut seyogyanya upaya kita bukanlah ditekankan pada bagaimana mencegah terjadinya konversi lahan pertanian, melainkan perlu difokuskan pada bagaimana meningkatkan profil petani kita sehingga menjadi petani idaman, yang orang-orang dan masyarakat umum tertarik untuk menekuninya. Yang diperlukan adalah menciptakan kondisi semakin terbukanya kesempatan kerja di sektor pertanian intensif bernilai tambah tinggi. Profil usaha tani hendaknya merupakan usaha tani yang berskala ekonomis (economy of scale), padat modal, serta berorientasi pasar dengan tehnologi baru yang semakin menguntungkan. Penanganan yang terpadu intensif terhadap hubungan yang melembaga antara perusahaan besar dan kecil memberikan peluang kepada pesatnya perkembangan profil usaha tani dimaksud. Perlu dirumuskan pola kemitraan yang saling membutuhkan dan menguntungkan antara agribisnis skala kecil, sedang dan skala ekonomi yang lebih efisien. Pengembangan sentra produksi pertanian yang didasarkan atas pengembangan pola usaha tani dengan komoditas utama sesuai dengan keunggulan komparatif, disertai oleh strategi pengembangan komplek industri hilir di sentra produksi usaha tani yaitu berkembangnya usaha tani yang dikelola dengan prinsip komersil dan terkait dengan industri pengolahan.

Profil usaha tani yang akan berkembang di masa datang yang memberikan indikasi tentang kualifikasi umum yang perlu dimiliki oleh petani yaitu:

(1) Menjalankan usahanya atas dasar permintaan pasar yang tersedia, inovasi, peluang pasar, asas skala ekonomi dan resiko merupakan aspek-aspek yang melekat pada usaha yang berorientasi pasar sehingga kemampuan-kemampuan yang menyangkut aspek-aspek tersebut sangat perlu dimiliki dan dikembangkan di kalangan petani.

(2) Mempunyai kemampuan bekerjasama dalam skala ekonomi yang menguntungkan dan efisien diantara sesama maupun antar petani dengan pengusaha agroindustri.

(3) Usaha yang dilakukan berorientasi pada pelesterian sumber daya alam sehingga kesinambungan pembangunan pertanian dapat diwujudkan.

(4) Berkemampuan mengadaptasi diri dengan pengetahuan dan keterampilan baru di luar bidang pertanian maupun bidang agroindustri sehingga menambah mobilitas penduduk pedesaan dalam mengisi kesempatan kerja dan berusaha yang terbuka di pedesaan maupun perkotaan.

Golongan yang paling potensil untuk memilki kualifikasi demikian adalah para pemuda tani yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dari orang tua mereka. Dalam jangka pendek dan menengah para petani muda, petani maju dan kontak tani andalan berpotensi nyata untuk mengadakan perubahan nyata dalam struktur sosial ekonomi.

Untuk mengidentifikasi kualifikasi petani maka ada beberapa indikator perilaku MUKIBAT, yaitu komponen perilaku sebagai berikut:

(1) Mental produktif, yaitu kondisi mental produktif karena mempunyai wawasan, pola pikir, sikap, semangat dan keuletan dalam melaksanakan usaha agribisnis.

(2) Usahawan, yaitu wira usaha yang mempunyai kekuatan, keberanian untuk mengambil resiko karena terpanggil dan mampu menciptakan dan mengembangkan usaha dengan tindakan investasi.

(3) Kreatif, yaitu mempunyai daya kreasi untuk selalu mengembangkan dinamika yang tanggap terhadap setiap tantangan, ancaman dan hambatan serta bernaluri tinggi dalam memanfaatkan setiap peluang yang timbul di sekelilingnya.

(4) Inovatif, yaitu mempunyai kemampuan untuk selalu melakukan pembaharuan dalam rangka pengembangan usaha agribisnis yang efisien, berkualitas dan berkesinambungan.

(5) Bina-benah, yaitu mempunyai jiwa kepemimpinan dan mampu melakukan pembenahan dan pembinaan dengan menerapkan jurus operasional dan menciptakan kondisi strategis dalam menggerakkan sistem agribisnis.

(6) Arsitek, yaitu mempunyai kemampuan dalam merekayasa dan merancang bangun sistem agribisnis agar menjadi suatu sistem yang tersusun sehingga secara teknik efektif, secara ekonomis efisien dan kompetitif, serta secara sosial diinginkan.

(7) Tehnologi tepat guna, yaitu mempunyai kemampuan untuk memilih tehnologi yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan agribisnis.

Perubahan Paradigma

Perubahan Paradigma

Sejalan dengan era otonomi sekarang ini untuk pembangunan ketahanan pangan diperlukan suatu paradigma baru, hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa paradigma lama memiliki beberapa kelemahan antara lain :

(1) Terfokus pada aspek ketersediaan dan keterjangkauan, dengan sasaran utama swasembada beras pada tingkat harga murah

(2) Pemahaman pada stabilitas harga tidak memberikan insentif peningkatan produksi yang mamadai bagi petani produsen sehingga kontra produktif terhadap pencapaian ketahanan pangan

(3) Diabaikannya pemberdayaan untuk peningkatan pendapatan petani, sehingga timbulnya krisis pangan yang dipicu oleh lemahnya daya beli masyarakat

(4) Fokus yang dominan terhadap ketahanan pangan (beras) nasional dan diabaikannya aspek ketahanan pangan rumah tangga

(5) Dilema kebijaksanaan yaitu upaya peningkatan produksi disatu pihak, tapi sisi lain harga ditetapkan murah untuk melindungi masyarakat berpendapatan rendah

Dengan demikian peran pemerintah pada paradigma baru ini diharapkan dapat lebih terfokus pada :

(1) Menciptakan iklim yang mendukung berkembangnya usaha-usaha peningkatan kemampuan dalam penyediaan, distribusi dan konsumsi pangan.

(2) Membangun sistem ekonomi pangan yang jujur, adil dan bertanggung jawab.

(3) Merencanakan ketahanan pangan nasional/daerah melalui peningkatan efisiensi, efektivitas dan sinergi upaya mewujudkan ketahanan pangan.

(4) Melaksanakan pelayanan, konsultasi, dan advokasi, untuk perbaikan SDM agar memperlancar usaha masyarakat dalam membangun ketahanan pangan.

(5) Menjalankan pemerintahan dengan baik melalui penegakan hukum secara konsisten, pengelolaan kewenangan secara transparan, sifat dan pola bertanggung jawab, mengedepankan partisipasi masyarakat, dan mengembangkan sistem kontrol masyarakat.

Secara ringkas perubahan paradigma pemantapan ketahanan pangan dari beberapa pendekatan seperti tersaji pada Tabel 10.

Tabel 10. Perubahan Paradigma Pemantapan Ketahanan Pangan

No


Pendekatan


Paradigma Lama


Paradigma Baru

1


Desain kebijakan


Makro/agregat


Mikro/ rumah tangga

2


Manajemen pembangunan


Sentralistis


Desentralistis

3


Pelaku utama pembangunan


Dominasi peran pemerintah


Dominasi peran masyarakat

4


Fokus komoditas


Beras


Pangan keseleruhan

5


Peningkatan keterjangkuan


Penyediaan pangan murah


Peningkatan daya beli

6


Perubahan perilaku keluarga


Sadar kecukupan pangan


Sadar kecukupan gizi

Sumber : Suryana, A (2003)

Dalam kaitan paradigma baru sebagaimana terlihat pada Tabel 10, sistem ketahanan pangan tentu saja harus melibatkan beberapa komponen diantaranya yaitu:

(1) peran pemerintah (meliputi : kebijakan ekonomi makro, kebijakan perdagangan dalam negeri dan international, pelayanan/fasilitas fisik dan non fisik, intervensi/pengelolaan pasar terkendali, dan pemberdayaan masyarakat),

(2) peran masyarakat (meliputi : produksi pangan/pertanian, industri pengolahan pangan, perdagangan pangan, jasa pelayanan pangan, peningkatan kesadaran gizi dan pengembangan solidaritas sosial), dan

(3) input (meliputi :sumber daya alam yang meliputi lahan, air dan perairan, kelembagaan, budaya, teknologi.

Keterkaitan dari beberapa faktor/komponen yang berkaitan dengan sistem ketahanan pangan ini dapat dilihat secara sistematis pada Gambar 6. Terlihat bahwa output yang diharapkan dari adanya sistem ketahanan pangan paling tidak adalah dapat terpenuhinya hak azasi manusia yang paling hakiki yaitu terpenuhinya kebutuhan akan pangan, pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas, dan ketahanan pangan, ekonomi dan nasional.


Peran Masyarakat

Produksi pangan/pertanian

Industri pengelolaan pangan

Pedagang pangan

Jasa pelayanan pangan

Peningkatan kesadaran gizi

Pengembangan solidaritas sosial





SISTEM KETAHANAN PANGAN

Input :

SD alam (lahan, air, perairan)

Kelembagaan

Budaya

Teknologi

Gambar 6. Kerangka Sistem Ketahanan Pangan

Output :

Pemenuhan HAM

Pengembangan SDM berkualitas

Ketahanan Pangan, Ekonomi dan Nasional

Peran Pemerintah

Kebijakan ekonomi makro

Kebijakan perdagangan dalam negeri dan internasional

Pelayan / fasilitas fisik dan non fisik

Intervensi/pengelolaan pasar terkendali

Pemberdayaan masyarakat

PEMBERDAYAAN PETANI

PEMBERDAYAAN PETANI

Program utama pembangunan pertanian (pada periode 2000–2004) menekankan pada dua hal pokok, yaitu:

(1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan, dan

(2) Program Pengembangan Agribisnis.

Penekanan pada kedua program utama itu dapat dipandang sebagai penajaman dari program pembangunan pertanian sebelumnya. Dengan penajaman tadi peran sektor pertanian dalam pembangunan di masa datang diharapkan akan lebih baik lagi.

Ditetapkannya program ketahanan pangan sebagai salah satu program utama pembangunan pertanian merupakan hal yang wajar dan sudah menjadi suatu keharusan. Menurut Gohong (1993) masalah pangan memegang peranan penting dalam perekonomian. Gejolak harga pangan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap stabilitas ekonomi, karena jumlah permintaan total kita secara aggregat terhadap pangan sangat besar. Sebagai contoh untuk beras misalnya, apabila hanya mengandalkan pada suplai yang tersedia di pasar, maka jumlah yang kita minta akan melebihi 50% dari produk yang dipasarkan dunia.

Untuk keperluan itu paradigma ketahanan pangan sekarang ini paling tidak perlu mempertimbangkan empat indikator utama, yaitu:

(1) ketersediaan pangan,

(2) aksesibilitas secara fisik dan ekonomi (pemberdayaan ekonomi masyarakat),

(3) ketahanan terhadap resiko, dan

(4) aspek keberlanjutan.

Dalam paradigma baru ini, kecukupan dan ketersediaan pangan adalah penting, tetapi belum cukup menjamin ketahanan pangan bagi masyarakat. Walaupun pagu tersedia dengan jumlah yang cukup, tetapi jika masyarakat tidak memiliki daya beli yang memadai maka akan terjadi krisis pangan. Sistem pangan juga harus memiliki ketahanan yang cukup terhadap resiko penurunan produksi pangan sebagai akibat faktor alam, krisis keuangan, sosial, dan politik (Rusastra, dkk, 2002).

Untuk tercapainya program ketahanan pangan tentunya bukanlah suatu hal yang mudah. Jika ditelaah secara cermat ketahanan pangan tidak semata-mata masalah ekonomi dalam arti sempit, melainkan harus dipandang dalam kerangka kenegaraan yang lebih strategis, termasuk masalah stabilitas dan ketahanan politik, pertahanan dan keamanan nasional. Oleh karenanya penyelesaian ketahanan pangan tidak selayaknya hanya didasarkan pada perspektif perdagangan bebas. Sebagai negara yang memiliki sumber daya yang relatif besar dan bervariasi, peningkatan ketahanan pangan haruslah didasarkan pada penggalangan kekuatan sumber daya dari dalam, dan sekecil mungkin tergantung input dari luar negeri. Gejala krisis pangan beberapa tahun terakhir ini bukan semata-mata kegagalan produksi pangan nasional, melainkan kegagalan dalam strategi pendekatan yang digunakan. Strategi pendekatan baru ketahanan pangan menjadi suatu keharusan agar dirumuskan dengan seksama. Pendekatan dimaksud menyangkut beberapa hal yang terdiri dari:

(1) desain kebijakan,

(2) manajemen pembangunan,

(3) pelaku utama pembangunan,

(4) fokus komoditas,

(5) peningkatan keterjangkuan, dan

(6) perubahan perilaku keluarga.

Dari semua pendekatan dimaksud keberpihakan terhadap masyarakat nampaknya lebih dominan, hal ini dapat dipahami karena masyarakatlah tujuan akhir yang paling penting dari program ini. Untuk itu pemberdayaan masyarakat terutama petani sebagai salah satu ujung tombak kegiatan pertanian menjadi sangat penting sebagai salah satu komponen yang dapat menentukan keberhasilan program ketahanan pangan.