Sabtu, 10 Januari 2009

Implementasi Kebijakan Perberasan Nasional

Implementasi Kebijakan Perberasan Nasional
tisman
PEMERINTAH telah mengeluarkan kebijakan pengaturan impor beras seperti tertuang dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 9/MPP/Kep/1/2004. Penulis berusaha mencoba membahas bagaimana mendudukkan kebijakan pengaturan impor beras tersebut di dalam konteks implementasi kebijakan perberasan nasional yang komprehensif, sebagaimana tercantum di dalam Inpres No 9 Tahun 2002 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan.
Inpres No 9/2002 bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani dan ketahanan pangan nasional melalui komponen-komponen kebijakan sebagai berikut: (a) kebijakan peningkatan produktivitas dan produksi padi/beras nasional, (b) kebijakan pengembangan diversifikasi kegiatan ekonomi petani padi, (c) kebijakan harga pembelian gabah/beras oleh pemerintah, (d) kebijakan impor beras yang melindungi produsen dan konsumen, dan (e) kebijakan pemberian jaminan penyediaan dan penyaluran beras untuk kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan.
Berdasarkan elemen-elemen kebijakan tersebut dapat diketahui bahwa kebijakan perberasan nasional merupakan suatu paket kebijakan yang terdiri dari lima elemen kebijakan. Elemen kebijakan pertama (peningkatan produksi), elemen kebijakan kedua (diversifikasi), dan elemen kebijakan ketiga (kebijakan harga) dapat dipandang sebagai elemen kebijakan yang mempromosikan agribisnis perberasan nasional. Adapun elemen kebijakan keempat (kebijakan impor) dan elemen kebijakan kelima (distribusi beras untuk keluarga miskin, Raskin) me- rupakan kebijakan yang melindungi petani dan konsumen dari dampak negatif perdagangan beras internasional.
Dalam rangka meningkatkan produktivitas dan produksi padi nasional, pemerintah tengah mempromosikan pengembangan sistem dan usaha agribisnis berbasis usahatani padi. Berbagai program promosi yang dilaksanakan secara berkelanjutan adalah sebagai berikut: (a) Pengembangan infrastruktur mendukung usahatani padi dan peningkatan akses petani terhadap sarana produksi dan sumber permodalan, (b) Peningkatan mutu intensifikasi uasahatani padi dengan menggunakan teknologi maju, (c) Melaksanakan ekstensifikasi lahan pertanian terutama di luar Jawa, dan (e) Peningkatan akses petani terhadap sarana pengolahan pasca panen dan pemasaran.
Pelaksanaan berbagai tersebut ternyata telah mendorong peningkatan produksi padi pada tahun 2003 mencapai 51,85 juta ton gabah kering giling, atau meningkat sekitar 0,70 persen dibanding produksi tahun 2002. Adapun produktivitas padi pada tahun 2003 meningkat menjadi 45,27 kuintal/ha, atau naik sekitar 1,29 persen dibandingkan tahun 2002. Dalam jangka menengah, program promosi peningkatan produktivitas usahatani padi ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan daya saing usaha tani padi. Dengan demikian, dalam jangka menengah tingkat proteksi terhadap komoditas padi secara bertahap dapat dikurangi.
Mengingat bahwa rata-rata luas pemilikan lahan petani yang sempit, maka pendapatan rumah tangga petani tidak mungkin dapat dicukupi jika petani hanya mengandalkan usahatani padi saja. Petani perlu melakukan diversifikasi usahanya, guna meningkatkan pendapatan dan meningkatkan kemampuan untuk mengantisipasi risiko produksi yang tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah tengah mempromosikan diversifikasi usaha di pedesaan secara berkelanjutan, di antaranya melalui program diversifikasi pada tingkat usahatani (on-farm diversification), diversifikasi usaha yang terkait dengan usahatani (off-farm diversification), diversifikasi menurut wilayah pengembangan agro-ekosistem membentuk kawasan agribisnis unggulan (regional diversification).
Guna mendukung diversifikasi usaha di pedesaan ini, pemerintah secara terus menerus mengupayakan penyaluran kredit agribisnis dengan bunga bersubsidi. Dengan adanya kredit ini, diharapkan petani dan lembaga usaha di pedesaan dapat melakukan investasi dalam bidang usaha agribisnis dan agro industri.
Kebijakan harga pembelian pemerintah bertujuan agar petani padi menerima harga gabah yang layak, sehingga mereka menerima insentif untuk meningkatkan produktivitasnya. Sebagai implementasi dari kebijakan harga ini, pemerintah melalui Perum Bulog melakukan pembelian gabah dalam negeri sejumlah 6 - 7 persen dari produksi nasional dengan harga sesuai dengan harga pembelian pemerintah.
Hasil pemantauan harga yang dilakukan oleh BPS menunjukkan bahwa pada bulan April-Juli 2004 (pada saat panen raya) rata-rata harga gabah kering panen yang diterima petani berkisar antara 93,5 - 98,9 persen dari harga pembelian pemerintah.Tetapi di luar musim tersebut harga yang diterima petani telah sama atau lebih tinggi dari harga pembelian pemerintah. Mencermati fakta tersebut dapat dikatakan bahwa kebijakan harga mempunyai pengaruh yang positif terhadap harga gabah di pasar, walaupun pada waktu itu kebijakan harga ini belum didukung sepenuhnya oleh kebijakan impor beras. Hal tersebut ditunjukkan oleh rata-rata harga nominal gabah petani pada tahun 2003 sebesar 99,0 persen dibandingkan dengan harga pembelian pemerintah.
Kebijakan Proteksi
Dalam jangka waktu empat tahun terakhir ini, harga beras di pasar internasional cenderung menurun dari sekitar US$ 300/ton menjadi sekitar US$ 175/ton. Perubahan di pasar internasional beras disebabkan antara lain oleh: (a) terjadinya peningkatan produksi beras di masing-masing negara anggota ASEAN, Cina dan India; (b) berkembangnya sarana transportasi dan komunikasi; (d) menurunnya laju peningkatan konsumsi beras karena peningkatan pendapatan; dan (e) meningkatnya investasi di bidang produksi padi/beras antarnegara.
Rendahnya harga beras di pasar internasional pada saat ini tidak mencerminkan nilai ekonomis untuk memproduksinya, karena negara eksportir beras menerapkan tarif bea masuk beras yang tinggi (40 - 65%), negara eksportir beras memberikan berbagai bentuk subsidi dan subsidi ekspor, serta pasar beras internasional merupakan pasar residual, dalam arti bahwa beras yang dijual murah tersebut adalah beras yang mempunyai kualitas rendah dan tidak dikonsumsi di dalam negeri. Keadaan ini menyebabkan petani dalam negeri harus bersaing secara tidak adil dengan petani luar negeri yang sarat dengan perlindungan dan subsidi.
Hasil kajian menunjukkan bahwa sebenarnya kebijakan proteksi dengan pengenaan tarif impor sebesar Rp 430/kg yang berlaku pada saat ini belum dapat melindungi petani dari rendahnya harga beras di pasar internasional. Menurut perhitungan, masih ada perbedaan sekitar Rp 200/kg antara harga gabah dalam negeri dan harga paritas eks impor (setelah pengenaan tarif) dalam ekuivalen gabah. Perlindungan tersebut akan semakin berkurang terutama pada saat musim panen raya, karena beras impor dengan harga yang rendah tetap membanjiri sentra-sentra produksi padi.
Sebagai alternatif dari kebijakan tarif, pemerintah telah melakukan perlindungan petani dengan menerapkan kebijakan pengaturan impor beras berdasarkan Kepmen Perindag No 9/MPP/Kep/1/ 2004 yang mengatur pelarangan impor beras satu bulan sebelum dan dua bulan sesudah panen raya sehingga beras impor dilarang masuk ke wilayah Indonesia pada bulan Januari - Juni, dan pada periode di luar panen raya, beras impor dapat masuk dengan pengaturan jumlah, tempat (pelabuhan), kualitas dan waktu.
Dengan menutup impor beras pada musim panen raya, diharapkan para petani yang selama ini tidak pernah menikmati harga gabah yang bagus pada musim panen raya, diharapkan dapat terlindungi dari serbuan beras impor yang harganya murah. Memang disadari bahwa keputusan pengaturan impor beras ini bukanlah suatu keputusan yang terbaik, namun instrumen tersebut saat ini merupakan suatu pilihan yang harus diambil untuk melindungi petani padi di dalam negeri.
Sementara itu, program Raskin (distribusi beras bersubsidi kepada kelompok masyarakat miskin perlu dilanjutkan karena perekonomian nasional belum sepenuhnya pulih. Namun demikian, program Raskin perlu dikaitkan dengan program pengurangan kemiskinan secara keseluruhan. Dengan demikian, program Raskin dapat dikatakan berhasil jika besaran kegiatan itu menurun. Pada tahun 2003 pemerintah menyalurkan beras Raskin kepada sekitar 8 (delapan) juta KK dengan jumlah beras sekitar 1,9 juta ton.
Lengkap
Dengan terbitnya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 9/MPP/Kep/1/2004 tentang peraturan impor beras, maka lengkaplah instrumen kebijakan perberasan nasional, terutama yang menyangkut kebijakan perlindungan petani dalam negeri dari dampak negatif perdagangan bebas besar di pasar internasional. Adalah kewajiban pemerintah, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk melaksanakan kebijakan perberasan nasional secara terkoordinasi, sistematis, konsisten dan berkelanjutan.
Efektivitas kebijakan perberasan nasional sangat tergantung pada keterkaitan dan sinergisme antarelemen kebijakan. Dengan demikian, tugas pemerintah, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk menindaklanjuti pelaksanaan dan pengamanan kebijakan perberasan nasional. Pemerintah harus meningkatkan koordinasi antardepartemen dan instansi terkait di pusat dan daerah dalam melaksanakan elemen-elemen kebijakan sebagaimana tertuang di dalam Inpres No 9 Tahun 2002. Selain itu juga melakukan pemantauan dan pengawasan agar pelaksanaan elemen pendukung kebijakan perberasan nasional terlaksana secara efektif, tepat sasaran, dan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi petani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar