Sabtu, 10 Januari 2009

Innovasi Pertanian untuk Pembangunan Pedesaan

Innovasi Pertanian untuk Pembangunan Pedesaan

Pada sebagian besar Negara Sedang Berkembang (NSB), teknologi baru di bidang pertanian dan inovasi-inovasi dalam kegiatan-kegiatan pertanian merupakan prasyarat bagi upaya-upaya peningkatan output dan produktivitas. Hal ini agak berbeda untuk beberapa negara di Afrika dan Amerika Latin, di mana peningkatan output telah dapat dicapai tanpa menggunakan teknologi baru yaitu hanya dengan memperluas areal pertanaman (ekstensifikasi) dengan memanfaatkan tanah-tanah yang dipakai, tetapi secara potensial cukup produktif.

Ada dua sumber inovasi teknologi yang bisa meningkatkan hasil-hasil pertanian. Kedua sumber ini mempunyai implikasi-implikasi yang sangat berbeda bagi pembangunan pertanian di NSB. Innovasi yang pertama adalah mekanisasi pertanian dan yang kedua adalah inovasi biologis.

Inovasi pertanian berupa penggunaan peralatan yang dapat menghemat tenaga (misal traktor-traktor besar) akan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap volume output setiap tenaga kerja, terutama sekali kalau tanah yang ditanami itu luas dan tenaga kerja agak langka. Sebagai contoh, seorang yang mengoperasikan mesin panen modern yang besar, dalam satu jam saja bisa mencapai hasil kerja, sama dengan 16 jam (dua hari kerja) apabila dilakukan dengan metode-metode tradisional.

Akan tetapi, daerah-daerah pertanian di NSB pada umumnya tanah dibagi-bagi dalam petak-petak kecil, modal sangat langka dan tenaga kerja berlimpah, maka pemakaian alat-alat teknologi mekanisasi pertanian yang besar-besar bukan hanya seringkali tidak sesuai dengan keadaan lingkungan secara fisik, tetapi juga yang lebih penting lagi adalah strategi tersebut seringkali menimbulkan pengangguran yang lebih tinggi lagi di daerah pedesaan. Oleh karena itu, pengimporan mesin-mesin ini merupakan kebijakan yang “anti pembangunan” karena penggunaan tidak mencapai efisiensi. Agar hasil kerjanya efisien maka diperlukan tanah yang luas dan hal tersebut akan menambah hebatnya masalah kemiskinan dan pengangguran di pedesaan yang memang sudah serius.

Sebaliknya, inovasi kedua yaitu inovasi biologis (seperti bibit unggul) dan kimiawi (pupuk buatan, pestisida, insektisida, dan lain-lain) merupakan usaha untuk memperbaiki mutu tanah yang ada dengan meningkatkan hasil (produktivitas) perhektar walaupun memang tidak langsung meningkatkan output setiap tenaga kerja. Penggunaan bibit unggul, teknik irigasi dan rotasi penanaman yang sudah lebih maju, memperbanyak penggunaan pupuk, pestisida, insektisida dan perkembangan baru di bidang kedokteran hewan dan pakan hewan, mencerminkan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan yang penting dalam pertanian modern.

Usaha-usaha ini secara teknologi bersifat netral, artinya secara teorotis bisa dipakai dalam pertanian besar maupun kecil dengan efektivitas yang sama. Usaha-usaha ini tidak memerlukan input modal yang besar atau peralatan mekanis. Oleh karena itu usaha-usaha seperti ini terutama sekali sangat sesuai untuk pertanian di daerah-daerah tropis dan sub-tropis.

Walaupun varietas bibit unggul (jagung, padi, kelapa sawit, dan sebagainya) bersifat netral dan karenanya akan memberikan potensi kemajuan bagi usaha tani kecil, tetapi sistem kelembagaan dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang menunjang pengenalannya ke dalam usaha tani kecil di pedesaan seringkali tidak bersifat netral.

Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Karena lembaga-lembaga dan kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut hanya memenuhi kebutuhan dan menguntungkan para petani kaya saja. Sebab bibit unggul yang baru itu memerlukan tambahan input seperti irigasi, pupuk, insektisida, pestisida, kredit dan perluasan pekerjaan. Dan jika semua itu hanya diberikan kepada kelompok kecil petani kaya saja, maka kemelaratan dan kemiskinan massal yang melanda para petani kecil di pedesaan tidak dapat dihapuskan.

Para petani kaya dengan input tambahan dan usaha-usaha penunjangnya yang serba lengkap bisa mendapatkan keuntungan dalam bersaing dengan para petani kecil dan mungkin dapat menendang para petani kecil tersebut keluar dari pasaran. Petani kaya bisa mendapatkan fasilitas kredit dengan suku bunga yang rendah dari pemerintah, sedangkan petani kecil terpaksa meminjam uang dari rentenir dengan suku bunga yang sangat tinggi. Hasilnya, sudah pasti tidak bisa dielakkan lagi akan lebih memperbesar jurang pemisah antara si kaya dan si miskin dan peningkatan konsentrasi tanah pertanian berada dalam tangan beberapa gelintir orang saja.

Sebagai contoh dari penerapan pola inovasi teknologi yang pertama di atas yaitu inovasi mekanisasi adalah pembangunan pertanian di Amerika Serikat, sedangkan pola kedua telah diterapkan di Jepang. Keduanya mengalami sukses karena kedua pola tersebut memang cocok untuk masing-masing negara tersebut.

Jadi inovasi pertanian yang mempunyai potensi yang besar dan ditujukan untuk memerangi kemiskinan di pedesaan dan meningkatkan hasil pertanian, justru menjadi alat untuk melanggengkan kemiskinan dan penderitaan para petani kecil di pedesaan. Suatu hal yang ironis sekali, rencana dan tujuan pembangunan ini justru bisa berbalik menjadi “anti-pembangunan”. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan pemerintah dan sistem kelembagaan yang mematikan peran aktif para patani kecil dalam upaya mereka untuk mengubah struktur pertanian harus dihilangkan.

Untuk mengiringi penerapan inovasi pertanian ini di Indonesia, tampaknya tidak bisa diabaikan sebagai komplemen penentu keberhasilan penerapan tersebut adalah land reform, yaitu upaya-upaya untuk menata kembali pola pemilikan tanah agar lebih menguntungkan bagi petani dan lebih mempersempit peluang rent seeker yang mencoba mengail untung dengan menguasai tanah dengan mengharapkan peningkatan nilai jual tanah di masa depan.

Struktur pertanian dan pola penggunaan tanah perlu disesuaikan dengan tujuan ganda, yaitu meningkatkan produksi pangan dan meningkatkan pemerataan keuntungan bagi petani secara luas. Pertanian dan pembangunan desa yang menguntungkan rakyat kecil hanya bisa tercapai melalui usaha bersama antara pemerintah dengan semua petani, bukan hanya dengan petani kaya saja. Adapun langkah pertama dalam usaha bersama ini adalah pemberian dan perbaikan hak-hak penggunaan tanah kepada masing-masing petani.

Keterikatan petani kecil terhadap tanahnya sangat mendalam. Suatu perasaan yang merupakan ikatan batin yang sangat erat hubungannya dengan harga diri dan kebebasan dari segala macam paksaan. Apabila si petani itu kehilangan tanahnya atau ia jatuh miskin secara pelan-pelan karena dicekik utang yang menumpuk, maka bukan hanya keadaan lahiriahnya saja yang rusak, tetapi juga rasa kepercayaan kepada diri sendiri dan semangat untuk berusaha memperbaiki dirinya dan keluarga bisa hancur sama sekali.

Hal-hal di atas merupakan alasan-alasan bagi perlunya land reform pertanahan untuk mendukung inovasi pertanian ini. Dari segi peningkatan hasil pertanian, perbaikan pola pemilikan tanah seringkali dianggap sebagai kondisi awal yang diperlukan untuk pembangunan pertanian di berbagai NSB. Pada sebagian besar NSB, struktur pemilikan tanah yang sangat tidak seimbang barangkali merupakan satu-satunya penyebab yang paling penting yang menimbulkan ketidakseimbangan dalam pemerataan penghasilan dan kekayaan bagi rakyat pedesaan. Apabila pembagian tanah sangat timpang, maka sedikit sekali harapan bagi petani kecil di pedesaan untuk ikut berperan mengembangkan perekonomiannya.

Andaikan program-program penataan kembali pola pemilikan tanah bisa dilaksanakan secara efektif oleh pemerintah, maka dasar bagi transisi dari pertanian subsisten ke pertanian modern dengan memperbaiki tingkat output dan meningkatkan taraf hidup bagi rakyat pedesaan akan menjadi kenyataan. Tetapi jika program-program penataan kembali pola pemilikan tanah ini hanya merupakan ketentuan dan peraturan saja tanpa ada tindakan yang efektif, maka tidaklah ada jaminan untuk suksesnya pembangunan pertanian dan pedesaan.

1 komentar: