Sabtu, 10 Januari 2009

Struktur Pemilikan dan Penguasaan Lahan

Struktur Pemilikan dan Penguasaan Lahan

Secara umum lahan pertanian produktif mengalami penyusutan sebagai konsekuensi berkembangnya aktivitas sektor perekonomian nasional yang juga menuntut ketersediaan lahan serta infrastruktur yang relatif memadai. Konflik antar sektor ekonomi atas penggunaan lahan masih terus berlangsung seiring dengan pelaksanaan proses pembangunan, dan fenomena ini kebanyakan menempatkan sektor pertanian pada posisi yang relatif kurang menguntungkan. Suatu hal hal yang logis dalam pembangunan dimana pilihan cenderung akan bias terhadap sektor-sektor kegiatan yang mampu memberikan nilai sewa atau rente ekonomi paling tinggi. Namun demikian terkonsentrasinya penduduk Indonesia yang hidup dan bekerja di sektor pertanian harus dijadikan pijakan yang penting dalam kebijakan pembangunan nasional.

Program perluasan areal sawah di luar Jawa merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam upaya mengkompensasi penyusutan lahan pertanian produktif di Pulau Jawa, namun upaya tersebut terasa masih kurang efektif dan sangat lambat. Oleh karenanya kapasitas produksi dan produktivitas pertanian nasional terus mengalami penurunan, seiring dengan kepemilikan lahan pertanian oleh petani yang semakin kecil.

Perubahan pengusaaan lahan pertanian dari Sensus pertanian 1983 dan 1993 menunjukan adanya peningkatan rumah tangga tani pemilikan lahan dri 15,9 juta rumah tangga menjadi 18,0 juta rumah tangga. Sementara itu dalam periode yang sama terjadi penurunan luas lahan peranian dari 16,7 juta hektar menjadi 13,4 juta hektar, yang mengakibatkan rata-rata pemilikan lahan per rumah tangga turun dari 1,09 hektar menjadi 0,74 hektar. Akibat langsung dari kedua hal tersebut adalah semakin bertambahnya petani berlahan sempit (gurem), yakni petani yang memiliki lahan kurang dari o,5 hektar, dari 6,5 juta rumah tangga menjadi 8,7 juta rumah tangga (48% dari total rumah tangga tani pemilik lahan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar