Jumat, 09 Januari 2009

PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN : Kritik Terhadap Paradigma Agribisnis

PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN : Kritik Terhadap Paradigma Agribisnis

Pendahuluan

Pertanian (agriculture) bukan hanya merupakan aktivitas ekonomi untuk menghasilkan pendapatan bagi petani saja. Lebih dari itu, pertanian/agrikultur adalah sebuah cara hidup (way of life atau livehood) bagi sebagian besar petani di Indonesia. Oleh karena itu pembahasan mengenai sektor dan sistem pertanian harus menempatkan subjek petani, sebagai pelaku sektor pertanian secara utuh, tidak saja petani sebagai homo economicus, melainkan juga sebagai homo socius dan homo religius.

Konsekuensi pandangan ini adalah dikaitkannya unsur-unsur nilai sosial-budaya lokal, yang memuat aturan dan pola hubungan sosial, politik, ekonomi, dan budaya ke dalam kerangka paradigma pembangunan sistem pertanian. Tulisan ini sekaligus menanggapi tulisan Saudara Pantjar Simatupang (Jakarta Post, April 14 and 15, 2003) tentang Pendekatan Sistem Agribisnis dalam Pembangunan Pertanian, yang juga didasarkan pada kerangka konsep pembangunan pertanian Departemen Pertanian tahun 2001.

Secara ringkas tulisan tersebut menguraikan tentang perlu dikembangkannya paradigma baru pembangunan pertanian yang didasarkan pada pendekatan sistem agribisnis. Pantjar mengacu dengan jelas pada paradigma agribisnis yang dikembangkan oleh Davies dan Goldberg, yang berdasar pada lima premis dasar agribisnis. Pertama, adalah suatu kebenaran umum bahwa semua usaha pertanian berorientasi laba (profit oriented), termasuk di Indonesia. Kedua, pertanian adalah komponen rantai dalam sistem komoditi, sehingga kinerjanya ditentukan oleh kinerja sistem komoditi secara keseluruhan. Ketiga, pendekatan sistem agribisnis adalah formulasi kebijakan sektor pertanian yang logis, dan harus dianggap sebagai alasan ilmiah yang positif, bukan ideologis dan normatif.

Keempat, Sistem agribisnis secara intrinsik netral terhadap semua skala usaha, dan kelima, pendekatan sistem agribisnis khususnya ditujukan untuk negara sedang berkembang. Rumusan inilah yang nampaknya digunakan sebagai konsep pembangunan pertanian dari Departemen Pertanian, yang dituangkan dalam visi terwujudnya perekonomian nasional yang sehat melalui pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi.
Ideologi Agribisnis

Mula-mula ilmu ekonomi (Neoklasik) dikritik pedas karena telah berubah menjadi ideologi (Burk. dalam Lewis dan Warneryd, 1994: 312-334), bahkan semacam agama (Nelson: 2001). Kemudian pertanian dijadikan bisnis, sehingga utuk mengikuti perkembangan zaman konsep agriculture (budaya bertani) dianggap perlu diubah menjadi agribusiness (bisnis pertanian). Maka di IPB dan UGM tidak dikembangkan program S2 Pertanian, tetapi lebih dikembangkan program Magister atau MM Agribisnis, yang jika diteliti substansi kuliah-kuliahnya hampir semua berorientasi pada buku-buku teks Amerika 2 dekade terakhir yang mengajarkan ideologi atau bahkan mendekati “agama” baru bahwa “farming is business”.

Mengapa agribisnis? Ya, agribisnis memang diangggap lebih modern dan lebih efisien karena lebih berorientasi pada pasar, bukan hanya pada “komoditi yang dapat dihasilkan petani”. Perubahan dari agriculture menjadi agribisnis berarti segala usaha produksi pertanian ditujukan untuk mencari keuntungan, bukan untuk sekedar memenuhi kebutuhan sendiri termasuk pertanian gurem atau subsisten sekalipun. Penggunaan sarana produksi apapun adalah untuk menghasilkan “produksi”, termasuk penggunaan tenaga kerja keluarga, dan semua harus dihitung dan dikombinasikan dengan teliti untuk mencapai efisiensi tertinggi

Sepintas paradigma agribisnis memang menjanjikan perubahan kesejahteraan yang signifikan bagi para petani. Namun jika kita kaji lebih mendalam, maka perlu ada beberapa koreksi mendasar terhadap paradigma yang menjadi arah kebijakan Deptan tersebut. Sebuah paradigma semestinya lahir dari akumulasi pemikiran yang berkembang di suatu wilayah dan kelompok tertentu. Jadi sudah sewajarnya jika kita mempertanyakan, apakah pengembangan paradigma agribisnis adalah hasil dari konsepsi dan persepsi para petani kita?. Lebih lanjut dapat kita kaji kembali apakah sudah ada riset/penelitian mendalam, yang melibatkan partisipasi petani, berkaitan dengan pola/sistem pertanian di wilayah mereka?.

Hal ini sangat penting karena jangan-jangan paradigma agrisbisnis hanyalah dikembangkan secara topdown dari pusat, yang tidak sesuai dengan visi desentralisasi sistem lokal, atau lebih berbahaya lagi hanya mengadopsi paradigma dari luar (barat). Lebih tepat apabila pemerintah berupaya untuk membantu menemukenali segala permasalahan yang dihadapi petani dan bersama-sama mereka mengusahakan jalan keluarnya, dengan memposisikan diri sebagai kekuatan pelindung petani. Selama ini masalah yang muncul adalah anjloknya harga komoditi, kenaikan harga pupuk, dan persaingan tidak sehat, yang lebih disebabkan oleh kekeliruan atau tidak bekerjanya kebijakan atau peraturan (hukum) yang dibuat oleh pemerintah.

Paradigma Agribisnis Yang Keliru Asumsi utama paradigma agribisnis bahwa semua tujuan aktivitas pertanian kita adalah profit oriented sangat menyesatkan. Masih sangat banyak petani kita yang hidup secara subsisten, dengan mengkonsumsi komoditi pertanian hasil produksi mereka sendiri. Mereka adalah petani-petani yang luas tanah dan sawahnya sangat kecil, atau buruh tani yang mendapat upah berupa pangan, seperti padi, jagung, ataupun ketela. Mencari keuntungan adalah wajar dalam usaha pertanian, namun hal itu tidak dapat dijadikan orientasi dalam setiap kegiatan usaha para petani. Petani kita pada umumnya lebih mengedepankan orientasi sosial-kemasyarakatan, yang diwujudkan dengan tradisi gotong royong (sambatan/kerigan) dalam kegiatan mereka. Seperti di awal tulisan, bertani bukan saja aktivitas ekonomi, melainkan sudah menjadi budaya hidup yang sarat dengan nilai-nilai sosial-budaya masyarakat lokal.

Sehingga perencanaan terhadap perubahan kegiatan pertanian harus pula mempertimbangkan konsep dan dampak perubahan sosial-budaya yang akan terjadi. Seperti halnya industrialisasi yang tanpa didasari transformasi sosial terencana, telah menghasilkan dekadensi nilai moral, degradasi lingkungan, berkembangnya paham kapitalisme dan individualisme, ketimpangan ekonomi, dan marjinalisasi kaum petani dan buruh. Hal ini yang nampaknya tidak terlalu dikedepankan dalam pengembangan paradigma pendekatan sistem agribisnis..Tidak semua kegiatan pertanian dalam skala petani kecil dapat dibisniskan, seperti yang dilakukan oleh petani-petani (perusahaan) besar di luar negeri, yang memiliki tanah luas dan sistem nilai/budaya berbeda yang lainsekali dengan petani kita

Agriculture bisa berubah menjadi agribisnis seperti halnya PT QSAR, jika usaha dan kegiatannya “menjanjikan keuntungan sangat besar”, misalnya 50% dalam waktu kurang dari satu tahun, padahal tingkat bunga bank rata-rata hanya sekitar 10%. Semangat mengejar untung besar dalam waktu pendek inilah semangat dan sifat agribisnis yang dalam agriculture (pertanian) suatu hal yang dianggap mustahil. Demikian tanpa disadari pakar-pakar ekonomi pertanian terutama lulusan Amerika telah memasukkan budaya Amerika ke (pertanian) Indonesia dengan janji atau teori bahwa agribisnis lebih modern, lebih efisien, dan lebih menguntungkan ketimbang agriculture.

Itulah yang terjadi dengan PT QSAR yang mampu mengecoh banyak bapak-bapak dan ibu-ibu “investor” untuk menanamkan modal ratusan juta rupiah, meskipun akhirnya terbukti agribisnis PT QSAR merupakan ladang penipuan baru untuk menjerat investor-investor “homo-ekonomikus” (manusia serakah) yang berfikir “adalah bodoh menerima keuntungan rendah jika memang ada peluang memperoleh keuntungan jauh lebih besar”. Di Indonesia homo-ekonomikus ini makin banyak ditemukan sehingga seorang ketua ISEI pernah tanpa ragu menyatakan “orang Indonesia dan orang Amerika sama saja”, mereka sama-sama “makhluk ekonomi”.

Konsep dan paradigma sistem agribisnis tidak akan menjadi suatu kebenaran umum, karena akan selalu terkait dengan paradigma dan nilai budaya petani lokal, yang memiliki kebenaran umum tersendiri. Oleh karena itu pemikiran sistem agribisnis yang berdasarkan prinsip positivisme sudah saatnya kita pertanyakan kembali. Paradigma agribisnis tentu saja sarat dengan sistem nilai, budaya, dan ideologi dari tempat asalnya yang patut kita kaji kesesuaiannya untuk diterapkan di negara kita. Masyarakat petani kita memiliki seperangkat sistem nilai, falsafah, dan pandangan terhadap kehidupan (ideologi) mereka sendiri, yang perlu digali dan dianggap sebagai potensi besar di sektor pertanian.

Sementara itu perubahan orientasi dari peningkatan produksi ke oreientasi peningkatan pendapatan petani belum cukup jika tanpa dilandasi pada orientasi kesejahteraan petani. Peningkatan pendapatan tanpa diikuti dengan kebijakan struktural pemerintah di dalam pembuatan aturan/hukum, persaingan, distribusi, produksi dan konsumsi yang melindungi petani tidak akan mampu mengangkat kesejahteraan petani ke tingkat yang lebih baik. Kisah suramnya nasib petani kita lebih banyak terjadi daripada sekedar contoh keberhasilan perusahaan McDonald dalam memberi “order’ kelompok petani di Jawa Barat. Industri gula dan usaha tani tebu serta usaha tani padi kini “sangat sakit” dengan jumlah dan nilai impor yang makin meningkat. Kondisi swasembada beras yang pernah tercapai tahun 1984 kini berbalik. Dan pemerintah mulai sangat gusar karena tanah-tanah sawah yang subur makin cepat beralih fungsi menjadi permukiman, lokasi pabrik, gedung-gedung sekolah, bahkan lapangan golf.

Jika kesejahteraan petani menjadi sasaran pembaruan kebijakan pembangunan pertanian, mengapa kata pertanian kini tidak banyak disebut-sebut? Mengapa Departemen Pertanian rupanya kini lebih banyak mengurus agribusiness dan tidak lagi mengurus agriculture. Padahal seperti juga di Amerika departemennya masih tetap bernama Department of Agriculture bukan Department of Agribusiness? Doktor-doktor Ekonomi Pertanian lulusan Ameri­ka tanpa ragu-ragu sering mengatakan bahwa farming is business. Benarkah farming (bertani) adalah bisnis? Jawab atas pertanyaan ini dapat ya (di Amerika) tetapi di Indonesia bisa tidak. Di Indonesia farming ada yang sudah menjadi bisnis seperti usaha PT QSAR di Sukabumi yang kemudian bangkrut, tetapi bisa tetap merupakan kehidupan (livelihood) atau mata pencaharian yang di Indonesia menghidupi puluhan juta petani tanpa menjadi bisnis. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

Kini tidak mudah lagi menyepakati apa yang dimaksud dengan pembangunan Pertanian Berkelanjutan, karena berbagai peringatan dan “potensi penyimpangan” di masa lalu kurang mendapat perhatian. Pembangunan pertanian yang di atas kertas mendapat prioritas sejak Repelita I tokh kebijakan dan strateginya dengan mudah dilanggar, dan program-program “industrialisasi” lebih didahulukan. Sumber utama kekeliruan adalah lebih populernya model-model pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan yang lebih cepat meningkatkan produksi dan pendapatan (GDP dan GNP), meskipun tanpa disertai pemerataan dan keadilan sosial.

Seharusnya kita tidak lupa peristiwa Malari Januari 1974 yang memprotes terjadinya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial padahal Repelita I pada saat itu baru berjalan 4,5 tahun, dan pertanian telah tumbuh rata-rata 5% per tahun. Pemerintah Indonesia yang waktu itu bertekad memulai dan meningkatkan program-program pemerataan “termanja­kan” oleh bonanza minyak yang dengan sangat mudah membelokkan dana-dana yang melimpah untuk “membantu” pengusaha-pengusaha swasta yang leluasa membangun segala macam industri subsistitusi impor dan kemudian industri promosi ekspor, kebanyakan dengan bekerjasama dengan investor asing, khususnya dari Jepang.

Demikian sekali lagi telah terjadi ketidakseimbangan pembangunan antara industri dan pertanian, yang anehnya dianggap wajar, karena “model pembangunan yang dianggap benar adalah yang mampu meningkatkan sumbangan sektor industri dan “menurunkan” sumbangan sektor pertanian. Inilah suasana awal kelahiran dan mulai populernya ajaran “agribusiness” (agribisnis) yang menggantikan agriculture (pertanian). Jika kita ingin mengadakan pembaruan menuju Pertanian Berkelanjutan justru harus ada kesediaan meninjau kembali konsep dan pengertian sistem dan usaha agribisnis.

Saya tidak sependapat agribisnis dimengerti sebagai “pertanian dalam arti luas” atau bahkan istilah pertanian sudah tidak lagi dianggap relevan dan perlu diganti agribisnis. Jika konsekuen Departemen Pertanian juga perlu diubah menjadi Departemen Agribisnis atau Institut Pertanian (INSTIPER) diganti menjadi Insitut Agribisnis. Kami menolak kecenderungan yang demikian yang di kalangan Fakultas-fakultas Ekonomi kita juga sudah muncul keinginan mengganti nama Fakultas Ekonomi menjadi Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Memang di Amerika sudah banyak School of Business, dan Department of Economics hanya merupakan satu departement saja dalam School of Business. Kami berpendapat ini sudah kebablasan. Seharusnya kita di Indonesia tidak menjiplak begitu saja apa yang terjadi di Amerika jika kita tahu dan patut menduga hal itu tidak cocok bagi tatanan nilai dan budaya petani dan pertanian kita.

Kesimpulan

Sistem ekonomi yang mengacu pada Pancasila yaitu Sistem Ekonomi Pancasila adalah sistem ekonomi pasar yang memihak pada upaya-upaya pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Meskipun pertanian berkelanjutan sudah dapat mencakup upaya-upaya mewujudkan keadilan namun pedoman-pedoman moralistik, manusiawi, nasionalisme, dan demokrasi/ ’kerakyatan’ secara utuh tidak mudah memadukannya dalam pengertian berkelanjutan. Asas Pancasila yang utuh memadukan ke-5 sila Pancasila lebih tegas mengarahkan kebijakan yang memihak pada pengembangan pertanian rakyat, perkebunan rakyat, peternakan rakyat, atau perikanan rakyat. Pertanian yang mengacu atau berperspektif Pancasila pasti memihak pada kebijakan yang mengarah secara kongkrit pada program-program pengurangan kemiskinan di pertanian dan peningkatan kesejahteraan petani.

Misalnya dalam kasus distribusi raskin (beras untuk penduduk miskin), orientasi ekonomi Pancasila pasti tidak mengijinkan pengiriman raskin ke daerah-daerah sentra produksi padi karena pasti menekan harga jual gabah/padi petani. Demikian pula dalam kebijakan pengembangan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang kini sudah dicabut, orientasi ekonomi Pancasila tidak akan membiarkan terjadinya persaingan sengit di antara petani tebu dalam menjual tebunya ke pabrik, dan sebaliknya pemerintah seharusnya tidak membiarkan pabrik-pabrik gula bertindak sebagai monopsonis (pembeli tunggal) yang menekan petani tebu dalam menampung tebu yang dijual oleh petani tebu rakyat

Tinjauan aspek sosial-ekonomi pembangunan pertanian dan pengelolaan sumber daya alam yang kami sampaikan di sini berbeda atau mungkin berseberangan dengan kerangka pikir yang mengarahkan semua topik pada pengembangan sistem dan usaha agribisnis. Kami berpendapat istilah pertanian tetap relevan dan pembangunan pertanian tetap merupakan bagian dari pembangunan perdesaan (rural development) yang menekankan pada upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan penduduk desa, termasuk di antaranya petani. Fokus yang berlebihan pada agribisnis akan berakibat berkurangnya perhatian kita pada petani-petani kecil, petani gurem, dan buruh-buruh tani yang miskin, penyakap, petani penggarap, dan lain-lain yang kegiatannya tidak merupakan bisnis. Apakah mereka ini semua sudah tidak ada lagi di pertanian dan perdesaan kita?

Masih banyak sekali, dan merekalah penduduk miskin di perdesaan kita yang membutuhkan perhatian dan pemihakan para pakar terutama pakar-pakar pertanian dan ekonomi pertanian. Pakar-pakar agribisnis rupanya lebih memikirkan bisnis pertanian, yaitu segala sesuatu yang harus dihitung untung-ruginya, efisiensinya, dan sama sekali tidak memikirkan keadilannya dan moralnya. Pembangunan pertanian Indonesia harus berarti pembaruan penataan pertanian yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di perdesaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar