Sabtu, 10 Januari 2009

Beberapa Contoh Kebijakan Pertanian untuk Pengentasan Kemiskinan

Beberapa Contoh Kebijakan Pertanian untuk Pengentasan Kemiskinan



Kebijakan pertanian adalah salah satu dari kegiatan untuk masyarakat (public action) yang bertujuan peningkatan taraf hidup secara umum, melalui perbaikan kesempatan ekonomi bagi para petani dan pengembangan struktur progresif dalam kehidupan masyarakat, termasuk rekayasa sistem kelembagaan yang diperlukan sebagai pendukung.

Merumuskan suatu kebijakan untuk pembangunan pertanian berarti menentukan strategi untuk mengkondisikan faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan pertanian agar dapat mencapai keadaan yang diinginkan. Upaya mencapai keadaan yang diinginkan ini harus memenuhi kriteria berikut:

(1) Secara teknis dapat dilaksanakan, artinya teknologi, alat dan keterampilan yang ada dapat dan memadai untuk menjalankan strategi tersebut.

(2) Secara ekonomi menguntungkan, artinya penerapan strategi ini secara finansial memberikan net benefit pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

(3) Secara sosiologis dapat dipertanggungjawabkan, artinya penerapan strategi ini tidak membuat komunitas masyarakat menjadi terganggu keseimbangan harmoninya.

(4) Secara ekologis berkelanjutan, artinya penerapan strategi ini ramah lingkungan dan tidak menyebabkan terjadinya kerusakan pada sistem keseimbangan lingkungan alami.

Secara garis besar kebijakan pertanian memberikan fokus penekanan pada tiga bidang utama yaitu:

(1) Farm (usahatani) yaitu bidang kebijakan yang didasarkan pada kenyataan bahwa pertanian adalah usaha keluarga dan karena itu pembangunan pertanian tidak bisa terlepas dari pembangunan keluarga petani secara utuh.

(2) Price Parity (pasangan harga) yaitu bidang kebijakan yang diarahkan untuk memperoleh tingkat harga yang wajar bagi produk pertanian relatif terhadap produk-produk sektor lainnya dalam perekonomian.

(3) Bargaining Position (posisi tawar) yaitu bidang kebijakan yang dimaksudkan untuk membantu memperkuat posisi petani sehingga mereka dapat memperoleh insentif yang layak untuk usaha yang mereka jalankan.

Sedangkan menurut orientasinya kebijakan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu:

(1) Kebijakan Pengembangan(development policy) dan

(2) Kebijakan Kompensasi (compensating policy).

Berikut ini diberikan beberapa contoh kebijakan yang dijalankan pemerintah dalam rangka pembangunan pertanian untuk pengentasan kemiskinan. Semua kebijakan yang dicontohkan ini merupakan kebijakan tidak langsung yang bersifat makro.

9.7.1. Kebijakan Harga

Kebijakan inimerupakan salah satu kebijakan yang terpenting di banyak negara dan biasanya digabung dengan pendapatan sehingga disebut kebijakan harga dan pendapatan (price and income policy). Segi harga dari kebijakan itu bertujuan untuk mengadakan stabilisasi harga, sedangkan segi pendapatannya bertujuan agar pendapatan petani tidak terlalu berfluktuasi ari musim ke musim dan dari tahun ke tahun. Kebijakan harga dapat mengandung pemberian suatu penyangga (support) untuk hasil-hasil pertanian supaya tdak merugikan petani atau langsung sejumlah subsidi tertentu bagi petani. Di banyak negara Eropa, Amerika Serikat, Jepang, Australia dan lain-lain, banyak sekali hasil-hasil pertanian seperti gandum, kapas, padi, gula biet dan lain-lain yang mendapat perlindungan pemerintah berupa penyangga dan subsidi. Indonesia baru mempraktikan kebijakan harga untuk beberapa hasil sejak tahun 1969. Secara teoritis kebijakan harga dapat dipakai mencapai tiga tujuan yaitu :

(1) Stabilisasi harga-hasil hasil pertanian terutama pada tingkat petani.

(2) Mening katkan pendapatan petani melalui perbaikan nilai tukar (term of trade).

(3) Memberikan arah dan petunjuk pada jumlah produksi.

Kebijakan harga di Indonesia ditekankan pada tujuan yang petama. Stabilisasi harga hasil-hasil pertanian dalam keadaan harga-harga umum yang stabil berarti pula kestabilan pendapatan. Tujuan yang kedua banyak sekali dilaksanakan bagi hasil-hasil ppertanian di negara-negara maju dengan alasan pokok pendapatan rata-rata sektor pertanian terlalu rendah dibandingkan penghasilan di luar sektor pertanian. Memang dengan diperkenalkan berbagai mesin pertanian maka produktivitas dan prodksi pertanian di negara-negara tersebut mengalami kemajuan yang sangat pesat sehingga harga-harga menurun. Dalam keadaan demikian kebijakan harga dipergunsksn untuk menghambat penurunan harga-harga tersebut baik dengan jalan mengurangi penawaran maupun menambah permintaan di pasar.

Tujuan yang kedua ini sukar dilaksanakan di negara-negara yang jumlah petaninya berjuta-juta dan terlalu kecil-kecil seperti di Indonesia karena persoalan administrasinya sangat kompleks. Karena pada prinsifnya kebijakan harga yang demikian ini merupakan usaha memindahkan pendapatan dari golongan bukan pertanian ke golongan pertanian, maka hal ini bisa dilaksanakan dengan mudah dinegara-negara yang sudah maju dan kaya, dimana golongan penduduk di luar pertanian jumlahnya jauh lebih besar dengan pendapatan yang jauh lebih tinggi daripada golongan penduduk pertanian. Di negara-negara ini penduduk sektor pertanian rata-rata hanya merupakan di bawah 10% dari seluruh penduduk, sedangkan di negara kita masih antara 60%-70%.

Tujuan kebijakan yang ketiga dalam praktik dilaksanakan di negara-negara yang sudah maju bersamaan dengan tujuan kedua yaitu dalam bentuk pembatasan jumlah produksi dengan pembayaran kompensasi. Berdasarkan ramalan harga, pemerintah membuat perencaan produksi dan petani mendapat pembayaran kompensasi untuk setiap hektar tanah yang diistirahatkan. Di negara kita dimana hasil-hasil pertanian pada umumnya belum mencukupi kebutuhan, maka kebijakan yang demikian tidak relevan.

Di samping kebijakan harga yang menyangkut hasil-hasil pertanian maka peningkatan pendapatan petani dapat dicapai dengan pemberian subsidi pada harga sarana-sarana produksi seperti pupuk/insektisida. Subsidi ini mempunyai pengaruh untuk menurunkan biaya produksi.

Dalam ekonomi pertanian masalah harga dan analisis harga merupakan pokok bahasan yang sangat penting. Harga adalah hasil akhir bekerjanya sistem pasar, yaitu bertemunya gaya-gaya permintaan dan penawaran, antara pembeli (konsumen) dan penjual (produsen). Karena permintaan penawaran merupakan indikator perkembangan dan preferensi konsumen dan produsen, maka harga yang merupakan hasil akhir bekerjanya sistem pasar juga dianggap sebagai indikator penting bagi konsumen dan produsen. Dengan demikian berarti harga pasar menjadi pedoman bagi konsumen untuk melaksanakan putusan pembelian atau konsumsinya, dan juga bagi produsen untuk melaksanakan produksi dan penjualan di pasar.

Yang dimaksud dengan kebijaksanaan harga dalam uraian kita sekarang adalah kebijaksanaan pertanian yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam bidang harga-harga di dalam pertania. Baik yang menyangkut produk (produk pertanian) maupun sarana produksi (input). Jadi kebijaksanaan harga di sini menyangkut masalah sebagaimana pemerintah mengatur dan menetapkan kebijaksanaan harga dasar (minimum) dan harga tertinggi (maksimum) padi atau palawija, bagaimana menetapkan kebijaksanaan harga produk, harga atau pungutan atas air irigasi, dan lain-lain.

Laju inflasi yang tinggi pada tahun 1966 (650 persen) menyadarkan pemerintah untuk mulai mengendalikan ‘harga pangan’ karena sekitar separoh dari pengeluaran masyarakat untuk makanan adalah berupa beras atau sekitar 30 persen dari seluruh pengeluaran biaya hidup.

Oleh karena itu pada tahun 1967 lahir sebuah konsep kebijaksanaan harga beras yang diajukan oleh Saleh Afiff dan Leon Mears yang memuat lima prinsip sebagai berikut,

(1) perlu ada harga dasar (floor price) yang cukup merangsang produksi,

(2) perlu ada harga maksimum (ceiling price) yang melindungi konsumen,

(3) perlu ada selisih yang memadai antara harga dasar dan harga maksimum untuk merangsang perdagangan oleh swasta,

(4) perlu ada relasi harga antar-daerah, perlu isolasi harga terhadap pasaran dunia dengan fluktuasi yang lebar, (dalam jangka panjang) perlu korelasi tertentu dengan harga luar untuk memperkecil subsidi impor beras, dan

(5) disarankan pula adanya stok penyangga (buffer stock) yang dikuasai pemerintah.

Dengan kata lain, kebijaksanaan pemerintah selalu didasarkan pada macam-macam pertimbangan dan juga biasanya ingin mencapai beberapa tujuan sekaligus. Misalnya saja dalam kebijaksanaan stok dan harga pangan yang ditugaskan pada Bulog (Badan Urusan Logistik) sesuai Keppres No.11/1969 pada 22 Januari 1969, dinyatakan bahwa sasaran utama program Bulog adalah: mempertahankan harga minimum beras, dan menjaga kestabilan harga beras agar tidak melampaui tingkat maksimum.

Kedua sasaran tersebut tampaknya tidak ‘bertentangan’ satu sama lain, karena yang pertama menyangkut perangsang bagi produsen padi, sedangkan yang kedua menyangkut perlindungan pada konsumen. Namun dalam kenyataan, keduanya bisa ‘bertentangan’ satu sama lain.

Dengan sasaran “menjamin kestabilan harga”, maka pertimbangan pemerintah di samping aspek perlindungan kepada konsumen adalah mengendalikan inflasi melalui pengendalian tingkat inflasi serendah mungkin. Dengan pengendalian inflasi melalui pengendalian harga beras berarti harus “menekan” harga beras baik secara langsung dengan memberikan subsidi atas beras impor maupun dengan menjual tepung terigu jauh di bawah harga yang biasanya berlaku.

Pada tahun 1968, lahirlah konsep kebijaksanaan harga dasar (floor price) dengan nama “rumus Tani”. Rumus Tani ini dapat mengungkapkan penentu kebijakan untuk memperhatikan hubungan antara harga sarana produksi yang terpenting yaitu pupuk dengan harga hasil produksi. dengan kata lain, Rumus Tani adalah satu pedoman perhitungan dalam membandingkan harga beras yang dijual oleh petani dengan harga pupuk yang dibeli. Rumus Tani ini telah mengoperasionalkan pengertian harga dasar yang telah disarankan oleh Saleh Afiff dan Mears. Karena pupuk pada saat itu (196 8) hampir semuanya harus di impor, maka harga beras yang dianggap “wajar” atau ‘merangsang’ dihitung sebagai berikut :

1,5 A.B

P =

2

di mana :

P = harga minimum padi yang diproduksi (Rp per kilogram)

A = harga CIF pupuk urea yang diimpor (dalam US $)

B = kurs BE (pasar bebas) yang berlaku dalam rupiah per US $.

Dalam rumusan tersebut terdapat angka satu setengah yang berarti bahwa harga pupuk urea dalam rupiah di pelabuhan (CIF) harus dikalikan satu setengah sampai data tingkat petani karena ongkos pengangkutan dan biaya-biaya pelabuhan. Angka pembagi dua menyatakan perbandingan antara padi dan beras; artinya dua kilogram padi kering sama dengan satu kilogram beras.

Sebagai suatu pedoman kasar, rumus tani pada waktu itu dapat dianggap memadai terutama bagi pelaksanaan program Bimas yang hendak digalakkan. Program Bimas yang terutama berisi paket kredit dapat mudah dihitung dengan cara perbandingan 1:1 yaitu petani dianggap akan terrangsang mempergunakan pupuk (dan bibit unggul) untuk meningkatkan produksi bila harga pupuk yang harus dibelinya sama atau lebih rendah dari beras yang berlaku pada saat itu.

Secara obyektif rumus tersebut masih banyak kekurangannya karena tidak memperhatikan faktor harga beras internasional dan perbedaan yang mungkin diperlukan antara daerah-daerah yang begitu luas di Indonesia. Namun demikian rumus itu cukup bermanfaat pada saat itu untuk membantu pemerintah yang belum betul-betul siap dalam penguasaan sarana atau dana yang diperlukan bila harga beras pada saat panen benar-benar jatuh di bawah harga (dasar).

Kebijaksanaan harga biasanya ditujukan untuk dua pihak yaitu produsen dan konsumen. Salah satu tugas pemerintah cimanapun dan dalam sistem ekonomi apapun ialah mengusahakan agar rakyat (konsumen) dapat memenuhi kebutuhannya, terutama kebutuhan pokoknya.

Ditinjau dari tugas pemerintah yang demikian, maka dalam kebijaksanaan harga pemerintah berkewajiban agar harga-harga kebutuhan pokok rakyat terjangkau oleh daya beli mereka. Dalam hal kebutuhan seperti beras misalnya dianggap wajar, sehingga pemerintah mengusahakan agar harga tersebut tidak dilampaui.

Usaha untuk menetapkan semacam harga maksimum (ceiling price) ini dilakukan pemerintah dengan berbagai cara, misalnya dengan kebijaksanaan pengadaan, dengan pemberian subsidi harga atau dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan lainnya yang pada prinsipnya bertujuan sama. Perlindungan harga konsumen yang berupa subsidi ini tidak hanya terjadi pada beras, tetapi dapat ditemukan juga pada komoditas-komoditas lain seperti tepung, gandum, atau pupuk.

9.7.2. Kebijakan Pemasaran

Di samping kebijakan harga untuk melindungi petani produsen maka pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakan khusus dalam kelembagaan perdagangan dengan tujuan yang sama, tetapi dengan tekanan pada perubahan rantai pemasaran dari produsen ke konsumen, dengan tujuan utama untuk memperkuat daya saing petani. Di negara-negara Afrika seperti Nigeria dan Kenya apa yang dikenal dengan nama badan Pemasaran Pusat (Central marketing board) berusaha untuk mengurangi pengaruh fluktuasi harga pasar dunia atas penghasilan petani. Badan pemasaran ini sangat berhasil di Inggris yang dimulai sesudah deprisi besar pada tahun 1930 untuk bulu domba, milk, telur dan kentang. Di nnegara kita pembentukan sindikat dan PT eksportir kopi, badan pengurus kopra, badan pemasaran lada, pada prinsipnya mempunyai tujuan yang sama dengan badan-badan pemasaran pusat di Afrika dan Inggris itu.

Masalah yang dihadapi di negara kita adalah kurangnya kegairahan berproduksi pada tingkat petani, tidak adanya keinginan untuk mengadakan penanaman baru, dan usaha-usaha lain untuk menaikan produksi karena presentase harga yang diterima oelh petani relatif rendah dibandingkan dengan bagian yang diterima golongan-golongan lain.

Badan-badan pemasaran yang dibentuk dimaksudkan untuk memberikan jaminan harga yang minimum yang stabil pada petani. Sehubungan dengan usaha memperkuat kedudukan pengusaha eksportir lemah telah diambil kebijakan kredit, yaitu dengan memberikan kredit dengan bunga yang relatif rendah dan menyederhanakan prosedur ekspor maka kebijakan pemasaran hasil-hasil tanaman perdagangan untuk ekspor maka kebijakan ini meliputi pula pengaturan distribusi sarana-saran produksi bagi petani pemerintah berusaha menciptakan persaingan yang sehat diantara para pedagang yang melayani kebutuhan petani seperti pupuk, peptisida dan lain-lain sehingga petani akan dapat membeli saran-saran produksi tersebut dengan harga yang tidak terlalu tinggi.

Kebijakan pemasaran merupakan usaha campurtangan pemerintah dalam bekerjanya kekuatan-kekuatan pasar. Disatu pihak pemerintah dapat mengurangi pengaruh kekuatan-kekuatan pasar supaya tidak terlalu merugikan para pedagang dan petani, tetapi dipihak lain persaingan dapat didorong untuk mencapai efisiensi ekonomi yang tinggi. Dalam hal yang terakhir ini berarti pemerintah memberi arah tertentu di dalam bekerjanya gaya-gaya pasar. Dalam praktek kebijakan pemasaran dilaksanakan secara bersamaan dengan kebijaksanaan harga.

9.7.3. Kebijakan Struktural

Kebijakan strukturil dalam pertanian dimaksudkan untuk memperbaiki struktur produksi misalnya luas pemilikan tanah, pengenalan dan penguasaan alat-alat pertanian yang baru dan perbaikan prasarana pertanian pada umumnya baik prasarana fisik maupun sosial ekonomi.

Kebijakan strukturil ini hanya dapat terlaksana dengan kerjasama yang erat dari beberapa lembaga pemerintah. Perubahan struktur yang dimaksud disini tidak mudah mencapainya dan biasanya memakan waktu yang lama. Hal ini disebabkan karena sifat fisik usaha tani yang tidak saja merupakan unit usaha ekonomi tetapi juga merupakan bagian kehidupan petani dengan segala aspeknya. Oleh sebab itu tindakan ekonomi saja tidak akan mampu mendorong perubahan struktur dalam sektor pertanian sebagai mana dapat dilaksanakan dengan penyuluhan-penyuluhan yang intensif adalah merupakan pula satu contoh dari kebijakan ini. Kebijakan pemasaran yang telah disebutkan di atas sebenarnya dimaksudkan pula untuk mempercepat proses perubahan strukturil di sektor pertanian dalam komoditas komoditas pertanian.

Persoalan yang selalu tidak mudah diatasi adalah persoalan keadilan. Hampir setiap kebijakan jarang akan disambut dengan baik oleh semua pihak. Selalu ada saja pihak yang memperoleh manfaat lebih besar dari fihak lainnya bahkan ada yang dirugikan. Itulah sebabnya masalah kebijakan pertanian bukanlah terletak pada banyak sedikitnya campur tangan pemerintah melainkan pada berhasil tidaknya kebijakan mencapai sasarannya dengan sekaligus mencari keadilan bagi pihak-pihak yang bersangkutan.

Oleh sebab itu kebijakan pertanian yang baik adalah yang dapat mencapai tujuan nasional untuk menaikan produksi secara optimal dengan perlakuan yang adil pada pihak-pihak yang bersangkutan. Walaupun jelas sekali kebijakan pertanian yang berupa peraturan-peraturan itu mutlak diperlukan bagi kepentingan semua pihak, namun haruslah peraturan-peraturan itu tidak berlebih-lebihan. Peraturan yang berlebihan tidak saja akan merusak hubungan pasar yang sehat yang sangat diperlukan bagi kemajuan dan efisiensi ekonomi, tetapi bahkan dapat pula mematikan semangat dan inisiatif perseorangan dalam berusaha.

9.7.4. Kebijakan Inpres Desa Tertinggal (IDT)

Kebijakan IDT diperlukan untuk meningkatkan penanganan kemiskinan secara berkelanjutan di desa-desa tertinggal. IDT merupakan program khusus yang telah ada di pedesaan atau perkotaan, oleh karena itu diharapkan agar IDT dapat dipadukan dengan bauk dengan program-program sektoral. IDT diperlukan juga untuk menyukseskan program peemerataan karena dengan IDT diharapkan dapat memobilisasi kemampuan masyarakat kecil secara lebih besar dan IDT tersebut dilaksanakan secara langsung oleh masyarakat sehingga masyrakat diharapkan mampu meningkatkan wawasan, kebersamaan dan partisipasi terhadap kegiatan yang mereka lakukan.

Untuk maksud agar dapat berjalan dengan baik, IDT dapat dipersiapkan matang sekali dengan menugaskan tim nasional (aparat setempat) untuk menyusun konsep IDT yang sesuai dengan problem yang ada. Selanjutnya dilakukan pelatihan, dengan maksud agar semua aparat (petugas) terlibat melaksanakan IDT sehingga mempunyai persepsi yang sama terhadap konsep IDT yang sesuai dengan problem yang ada. Selanjutnya dilakukan pelatihan, dengan maksud agar semua aparat (petugas) terlihat melaksanakan IDT sehingga mempunyai persepsi yang sama terhadap konsep IDT.

Bila terjadi persepsi yang tidak sama baik dari kalangan birokrat atau pejabat yang ditugasi melaksanakan IDT maupun persepsi dari golongan miskin itu sendiri. Karena itu perlu terus dilakukan pemasyarakatan IDT secara lebih luas liputannya. Bila terjadi kebutuhan yang sebenarnya dari masyarakat miskin itu tidak diketahui karena dominannya petugas, sehingga apa yang benar-benar dibutuhkan tidak diketahui, tetapi justru kegiatan dari keinginan petugas. Karena itu perlu penyuluh yang terus-menerus agar terjadi hubungan yang kuat antara petugas dan golongan miskin

Ada 4 tujuan IDT yaitu :

(1) Memadukan gerak langkah semua instansi,lembaga pemerintah, masyarakat dan dunia usaha untuk mendukung program penanggulangan kemiskinan.

(2) Membuka peluang bagi penduduk miskin untuk melakukan kegiatan produktif dengan bantuan modal kerja

(3) Mengembangkan, meningkatkan dan memantapkan kehidupan ekonomi penduduk miskin melalui penyediaan dana bantuan

(4) Meningkatkan kesadaran, kemauan, tanggungjawab, rasa kebersamaan, harga diri dan percaya pada diri penduduk miskin di masyrakat. Dengan ini sumberdaya manusia dan sumberdaya alam diharapkan akan mencapai suatu pembangunan yang berkesinambungan.

Pengembangan Tata Guna Lahan

Pengembangan Tata Guna Lahan

Pembangunan ekonomi dan pertumbuhan penduduk Indonesia telah menimbulkan persaingan antar sektor ekonomi dalam hal penggunaan sumber daya pertanian. Hal ini tentunya akan membuat tantangan pembangunan pertanian di masa datang semakin berat, dimana tekanan terbesar dari terjadinya dinamika tersebut berakibat terhadap sumber daya lahan dan air.

Hermanto (1997) menyatakan dinamika perubahan terhadap sumber daya lahan dan air dicirikan oleh pesatnya penyusutan lahan pertanian produktif, meningkatnya degradasi lahan pertanian dan meningkatnya kekurangan antar musim dan antar daerah.

Hasil penelitian Adiningsih melalui penggunaan data citra lahan satelit memprediksi bahwa penyusutan lahan baku sawah di Jawa tahun 1997 mencapai 370.000 hektar, sehingga tingkat produksi cenderung menurun sekitar 200.000 ton per tahun (Kasryno, 1999). Sebagai upaya mengkompensasi semakin menyusutnya lahan subur pertanian di Jawa, maka perluasan usaha pertanian di luar Jawa perlu digalakkan. Disamping lahan basah, lahan-lahan di luar Jawa masih cukup luas dengan potensi yang cukup besar untuk penggunaan pertanian.

Adanya pengembangan atau perubahan tata guna lahan ini secara langsung atau tidak langsung dapat berpengaruh kepada pemberdayaan petani, karena seperti diketahui bersama lahan merupakan tempat berusaha yang utama bagi para petani.

Struktur Pemilikan dan Penguasaan Lahan

Struktur Pemilikan dan Penguasaan Lahan

Secara umum lahan pertanian produktif mengalami penyusutan sebagai konsekuensi berkembangnya aktivitas sektor perekonomian nasional yang juga menuntut ketersediaan lahan serta infrastruktur yang relatif memadai. Konflik antar sektor ekonomi atas penggunaan lahan masih terus berlangsung seiring dengan pelaksanaan proses pembangunan, dan fenomena ini kebanyakan menempatkan sektor pertanian pada posisi yang relatif kurang menguntungkan. Suatu hal hal yang logis dalam pembangunan dimana pilihan cenderung akan bias terhadap sektor-sektor kegiatan yang mampu memberikan nilai sewa atau rente ekonomi paling tinggi. Namun demikian terkonsentrasinya penduduk Indonesia yang hidup dan bekerja di sektor pertanian harus dijadikan pijakan yang penting dalam kebijakan pembangunan nasional.

Program perluasan areal sawah di luar Jawa merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam upaya mengkompensasi penyusutan lahan pertanian produktif di Pulau Jawa, namun upaya tersebut terasa masih kurang efektif dan sangat lambat. Oleh karenanya kapasitas produksi dan produktivitas pertanian nasional terus mengalami penurunan, seiring dengan kepemilikan lahan pertanian oleh petani yang semakin kecil.

Perubahan pengusaaan lahan pertanian dari Sensus pertanian 1983 dan 1993 menunjukan adanya peningkatan rumah tangga tani pemilikan lahan dri 15,9 juta rumah tangga menjadi 18,0 juta rumah tangga. Sementara itu dalam periode yang sama terjadi penurunan luas lahan peranian dari 16,7 juta hektar menjadi 13,4 juta hektar, yang mengakibatkan rata-rata pemilikan lahan per rumah tangga turun dari 1,09 hektar menjadi 0,74 hektar. Akibat langsung dari kedua hal tersebut adalah semakin bertambahnya petani berlahan sempit (gurem), yakni petani yang memiliki lahan kurang dari o,5 hektar, dari 6,5 juta rumah tangga menjadi 8,7 juta rumah tangga (48% dari total rumah tangga tani pemilik lahan).

Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Petani

Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Petani

Dalam konteks ketahanan pangan, petani adalah`salah satu komponen penting yang harus diperhatikan dan diberdayakan agar dapat diperoleh hasil yang maksimal. Upaya pemberdayaan petani yang mulai terlihat dari paradigma baru program ketahanan pangan, tentunya bukanlah merupakan hal yang mudah untuk dilakukan, akan tetapi merupakan suatu hal yang sudah selayaknya dilakukan agar program ketahanan pangan dapat berjalan dengan baik, sehingga kesejahteraan masyarakat petani khususnya dapat semakin meningkat.

Kasryno (2002) menyatakan berdasarkan hasil kajian Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian (PSE, 2002) menunjukan bahwa secara konseptual maupun empiris sektor pertanian layak untuk dijadikan sebagai sektor andalan ekonomi nasional, dan termasuk sebagai sektor yang berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani. Namun yang masih menjadi pertanyaan adalah apakah kondisi sumberdaya sektor pertanian saat ini mampu menangkap peluang tersebut. Seperti diketahui sampai saat ini sektor pertanian masih menghadapi beberapa kendala dalam memanfaatkan secara optimal sumber daya pertanian sendiri seperti lemahnya sumber daya manusia, kelembagaan dan sebagainya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka strategi ke depan minimal dapat dilakukan peningkatkan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia masyarakat pertanian, dan pengembangan kelembagaan petani.

Secara konseptual kerangka pemikiran upaya pemberdayaan petani ini paling tidak ada 6 (enam) faktor atau komponen yang harus diperhatikan, yaitu:

(1) Akses sumber daya (meliputi lahan, pantai dan laut, hutan)

(2) Modernisasi pertanian (meliputi teknologi dan sumber daya manusia),

(3) Sistem usaha pertanian (meliputi pertanian dan industri, kelembagaan usaha),

(4) pembiayaan pertanian (meliputi berbagai proyek pemerintah),

(5) pengembangan lembaga keuangan pedesaan (meliputi KUD, Bank berbasis pedesaan),

(6) Investasi dan pembentukan model permberdayaan pertani.

Dengan adanya pemberdayaan petani ini akan mampu menopang tercapainya program ketahanan pangan, peningkatan pendapatan petani dan perbaikan kesejahteraan penduduk pedesaan. Gambaran tentang kerangka pemikiran pemberdayaan petani ini tersaji pada Gambar 7.


1. Akses Sumber Daya

Lahan Pantai dan laut

Hutan

6. Investasi dan Pembentukan Model Pertanian

5. Pengembangan Lembaga Keuangan Pedesaan

KUD

Bank berbasis Pedesaan

Pemberdayaan Pertanian Petani

3. Sistem Usaha Pertanian

Pertanian dan industri

Kelembagaan usaha

Ketahanan Pangan

2. Modernisasi Pertanian

SDM

Teknologi

4. Pembiayaan Pertanian

berbagai proyek pemerintah

Gambar 7. Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Petani


Dari Gambar 7 tersebut terlihat bahwa untuk keberhasilan pemberdayaan petani diperlukan keterpaduan secara serasi dari keenam faktor atau komponen dimaksud. Skala prioritas dari masing-masing faktor tersebut tentu saja sangat tergantung dengan situasi dan kondisi petani yang ada baik menyangkut sosial, ekonomi dan budaya setempat.

Upaya pemberdayaan petani dan usaha kecil dipedesaan melalui berbagai program dan proyek sebenarnya bukanlah hal yang baru kali ini dilaksanakan oleh pemerintah. Program ini secara parsial telah dilaksanakan baik berupa program langsung, tidak langsung dan program khusus. Namun, pada pelaksanaan kali ini diharapkan bahwa dengan keberpihakan terhadap pemberdayaan usaha kecil di sektor pertanian, akan mendorong timbulnya saling berkesinambungan berbagai usaha (Sudaryanto, dkk. 2002).

Menurut Kasryno (2002) pembangunan pertanian haruslah dapat meningkatkan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan secara dinamis. Dengan demikian pembangunan pertanian harus meningkatkan partisipasi aktif petani dan masyarakat pedesaaan melalui pemanfaatan secara optimal sumber daya pertanian menggunakan teknologi maju ramah lingkungan oleh sumber daya manusia petani yang profesional. Dengan strategi pembangunan pertanian yang demikianlah dapat dihilangkan adanya dualisme antara desa dan kota dalam perekonomian Indonesia.

Profil Usaha Tani dan Kualitas Petani

Profil Usaha Tani dan Kualitas Petani

Kenyataan sulitnya membendung konversi lahan pertanian sebenarnya adalah hal yang alami. Proses konversi ini bagaimanapun juga akan terjadi, karena prinsip yang mendasari terjadinya adalah bahwa lahan akan dikonversi ke arah penggunaan lain yang memberikan nilai sewa (rent) yang lebih besar. Lahan untuk hutan akan dikonversi menjadi lahan pertanian dan perkebunan, karena yang terakhir ini dapat memberikan nilai keuntungan bagi sumberdaya lahan atau nilai sewa yang lebih besar. Selanjutnya lahan pertanian dan perkebunan akan dikonversi menjadi lahan-lahan industri. Lahan-lahan industri pada gilirannya akan dibeli oleh pengembang yang akan membangun komplek-komplek perumahan dan pemukiman. Perjalanan selanjutnya lahan pemukiman akan dibeli untuk kemudian dikonversi menjadi lahan untuk gedung-gedung pertokoan dan aktivitas perdagangan lainnya. Demikian seterusnya sampai pada aktivitas yang memberikan nilai sewa tertinggi pada lahan yaitu aktivitas jasa-jasa perusahaan.

Mengantisipasi keadaan tersebut seyogyanya upaya kita bukanlah ditekankan pada bagaimana mencegah terjadinya konversi lahan pertanian, melainkan perlu difokuskan pada bagaimana meningkatkan profil petani kita sehingga menjadi petani idaman, yang orang-orang dan masyarakat umum tertarik untuk menekuninya. Yang diperlukan adalah menciptakan kondisi semakin terbukanya kesempatan kerja di sektor pertanian intensif bernilai tambah tinggi. Profil usaha tani hendaknya merupakan usaha tani yang berskala ekonomis (economy of scale), padat modal, serta berorientasi pasar dengan tehnologi baru yang semakin menguntungkan. Penanganan yang terpadu intensif terhadap hubungan yang melembaga antara perusahaan besar dan kecil memberikan peluang kepada pesatnya perkembangan profil usaha tani dimaksud. Perlu dirumuskan pola kemitraan yang saling membutuhkan dan menguntungkan antara agribisnis skala kecil, sedang dan skala ekonomi yang lebih efisien. Pengembangan sentra produksi pertanian yang didasarkan atas pengembangan pola usaha tani dengan komoditas utama sesuai dengan keunggulan komparatif, disertai oleh strategi pengembangan komplek industri hilir di sentra produksi usaha tani yaitu berkembangnya usaha tani yang dikelola dengan prinsip komersil dan terkait dengan industri pengolahan.

Profil usaha tani yang akan berkembang di masa datang yang memberikan indikasi tentang kualifikasi umum yang perlu dimiliki oleh petani yaitu:

(1) Menjalankan usahanya atas dasar permintaan pasar yang tersedia, inovasi, peluang pasar, asas skala ekonomi dan resiko merupakan aspek-aspek yang melekat pada usaha yang berorientasi pasar sehingga kemampuan-kemampuan yang menyangkut aspek-aspek tersebut sangat perlu dimiliki dan dikembangkan di kalangan petani.

(2) Mempunyai kemampuan bekerjasama dalam skala ekonomi yang menguntungkan dan efisien diantara sesama maupun antar petani dengan pengusaha agroindustri.

(3) Usaha yang dilakukan berorientasi pada pelesterian sumber daya alam sehingga kesinambungan pembangunan pertanian dapat diwujudkan.

(4) Berkemampuan mengadaptasi diri dengan pengetahuan dan keterampilan baru di luar bidang pertanian maupun bidang agroindustri sehingga menambah mobilitas penduduk pedesaan dalam mengisi kesempatan kerja dan berusaha yang terbuka di pedesaan maupun perkotaan.

Golongan yang paling potensil untuk memilki kualifikasi demikian adalah para pemuda tani yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi dari orang tua mereka. Dalam jangka pendek dan menengah para petani muda, petani maju dan kontak tani andalan berpotensi nyata untuk mengadakan perubahan nyata dalam struktur sosial ekonomi.

Untuk mengidentifikasi kualifikasi petani maka ada beberapa indikator perilaku MUKIBAT, yaitu komponen perilaku sebagai berikut:

(1) Mental produktif, yaitu kondisi mental produktif karena mempunyai wawasan, pola pikir, sikap, semangat dan keuletan dalam melaksanakan usaha agribisnis.

(2) Usahawan, yaitu wira usaha yang mempunyai kekuatan, keberanian untuk mengambil resiko karena terpanggil dan mampu menciptakan dan mengembangkan usaha dengan tindakan investasi.

(3) Kreatif, yaitu mempunyai daya kreasi untuk selalu mengembangkan dinamika yang tanggap terhadap setiap tantangan, ancaman dan hambatan serta bernaluri tinggi dalam memanfaatkan setiap peluang yang timbul di sekelilingnya.

(4) Inovatif, yaitu mempunyai kemampuan untuk selalu melakukan pembaharuan dalam rangka pengembangan usaha agribisnis yang efisien, berkualitas dan berkesinambungan.

(5) Bina-benah, yaitu mempunyai jiwa kepemimpinan dan mampu melakukan pembenahan dan pembinaan dengan menerapkan jurus operasional dan menciptakan kondisi strategis dalam menggerakkan sistem agribisnis.

(6) Arsitek, yaitu mempunyai kemampuan dalam merekayasa dan merancang bangun sistem agribisnis agar menjadi suatu sistem yang tersusun sehingga secara teknik efektif, secara ekonomis efisien dan kompetitif, serta secara sosial diinginkan.

(7) Tehnologi tepat guna, yaitu mempunyai kemampuan untuk memilih tehnologi yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan agribisnis.

Perubahan Paradigma

Perubahan Paradigma

Sejalan dengan era otonomi sekarang ini untuk pembangunan ketahanan pangan diperlukan suatu paradigma baru, hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa paradigma lama memiliki beberapa kelemahan antara lain :

(1) Terfokus pada aspek ketersediaan dan keterjangkauan, dengan sasaran utama swasembada beras pada tingkat harga murah

(2) Pemahaman pada stabilitas harga tidak memberikan insentif peningkatan produksi yang mamadai bagi petani produsen sehingga kontra produktif terhadap pencapaian ketahanan pangan

(3) Diabaikannya pemberdayaan untuk peningkatan pendapatan petani, sehingga timbulnya krisis pangan yang dipicu oleh lemahnya daya beli masyarakat

(4) Fokus yang dominan terhadap ketahanan pangan (beras) nasional dan diabaikannya aspek ketahanan pangan rumah tangga

(5) Dilema kebijaksanaan yaitu upaya peningkatan produksi disatu pihak, tapi sisi lain harga ditetapkan murah untuk melindungi masyarakat berpendapatan rendah

Dengan demikian peran pemerintah pada paradigma baru ini diharapkan dapat lebih terfokus pada :

(1) Menciptakan iklim yang mendukung berkembangnya usaha-usaha peningkatan kemampuan dalam penyediaan, distribusi dan konsumsi pangan.

(2) Membangun sistem ekonomi pangan yang jujur, adil dan bertanggung jawab.

(3) Merencanakan ketahanan pangan nasional/daerah melalui peningkatan efisiensi, efektivitas dan sinergi upaya mewujudkan ketahanan pangan.

(4) Melaksanakan pelayanan, konsultasi, dan advokasi, untuk perbaikan SDM agar memperlancar usaha masyarakat dalam membangun ketahanan pangan.

(5) Menjalankan pemerintahan dengan baik melalui penegakan hukum secara konsisten, pengelolaan kewenangan secara transparan, sifat dan pola bertanggung jawab, mengedepankan partisipasi masyarakat, dan mengembangkan sistem kontrol masyarakat.

Secara ringkas perubahan paradigma pemantapan ketahanan pangan dari beberapa pendekatan seperti tersaji pada Tabel 10.

Tabel 10. Perubahan Paradigma Pemantapan Ketahanan Pangan

No


Pendekatan


Paradigma Lama


Paradigma Baru

1


Desain kebijakan


Makro/agregat


Mikro/ rumah tangga

2


Manajemen pembangunan


Sentralistis


Desentralistis

3


Pelaku utama pembangunan


Dominasi peran pemerintah


Dominasi peran masyarakat

4


Fokus komoditas


Beras


Pangan keseleruhan

5


Peningkatan keterjangkuan


Penyediaan pangan murah


Peningkatan daya beli

6


Perubahan perilaku keluarga


Sadar kecukupan pangan


Sadar kecukupan gizi

Sumber : Suryana, A (2003)

Dalam kaitan paradigma baru sebagaimana terlihat pada Tabel 10, sistem ketahanan pangan tentu saja harus melibatkan beberapa komponen diantaranya yaitu:

(1) peran pemerintah (meliputi : kebijakan ekonomi makro, kebijakan perdagangan dalam negeri dan international, pelayanan/fasilitas fisik dan non fisik, intervensi/pengelolaan pasar terkendali, dan pemberdayaan masyarakat),

(2) peran masyarakat (meliputi : produksi pangan/pertanian, industri pengolahan pangan, perdagangan pangan, jasa pelayanan pangan, peningkatan kesadaran gizi dan pengembangan solidaritas sosial), dan

(3) input (meliputi :sumber daya alam yang meliputi lahan, air dan perairan, kelembagaan, budaya, teknologi.

Keterkaitan dari beberapa faktor/komponen yang berkaitan dengan sistem ketahanan pangan ini dapat dilihat secara sistematis pada Gambar 6. Terlihat bahwa output yang diharapkan dari adanya sistem ketahanan pangan paling tidak adalah dapat terpenuhinya hak azasi manusia yang paling hakiki yaitu terpenuhinya kebutuhan akan pangan, pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas, dan ketahanan pangan, ekonomi dan nasional.


Peran Masyarakat

Produksi pangan/pertanian

Industri pengelolaan pangan

Pedagang pangan

Jasa pelayanan pangan

Peningkatan kesadaran gizi

Pengembangan solidaritas sosial





SISTEM KETAHANAN PANGAN

Input :

SD alam (lahan, air, perairan)

Kelembagaan

Budaya

Teknologi

Gambar 6. Kerangka Sistem Ketahanan Pangan

Output :

Pemenuhan HAM

Pengembangan SDM berkualitas

Ketahanan Pangan, Ekonomi dan Nasional

Peran Pemerintah

Kebijakan ekonomi makro

Kebijakan perdagangan dalam negeri dan internasional

Pelayan / fasilitas fisik dan non fisik

Intervensi/pengelolaan pasar terkendali

Pemberdayaan masyarakat

PEMBERDAYAAN PETANI

PEMBERDAYAAN PETANI

Program utama pembangunan pertanian (pada periode 2000–2004) menekankan pada dua hal pokok, yaitu:

(1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan, dan

(2) Program Pengembangan Agribisnis.

Penekanan pada kedua program utama itu dapat dipandang sebagai penajaman dari program pembangunan pertanian sebelumnya. Dengan penajaman tadi peran sektor pertanian dalam pembangunan di masa datang diharapkan akan lebih baik lagi.

Ditetapkannya program ketahanan pangan sebagai salah satu program utama pembangunan pertanian merupakan hal yang wajar dan sudah menjadi suatu keharusan. Menurut Gohong (1993) masalah pangan memegang peranan penting dalam perekonomian. Gejolak harga pangan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap stabilitas ekonomi, karena jumlah permintaan total kita secara aggregat terhadap pangan sangat besar. Sebagai contoh untuk beras misalnya, apabila hanya mengandalkan pada suplai yang tersedia di pasar, maka jumlah yang kita minta akan melebihi 50% dari produk yang dipasarkan dunia.

Untuk keperluan itu paradigma ketahanan pangan sekarang ini paling tidak perlu mempertimbangkan empat indikator utama, yaitu:

(1) ketersediaan pangan,

(2) aksesibilitas secara fisik dan ekonomi (pemberdayaan ekonomi masyarakat),

(3) ketahanan terhadap resiko, dan

(4) aspek keberlanjutan.

Dalam paradigma baru ini, kecukupan dan ketersediaan pangan adalah penting, tetapi belum cukup menjamin ketahanan pangan bagi masyarakat. Walaupun pagu tersedia dengan jumlah yang cukup, tetapi jika masyarakat tidak memiliki daya beli yang memadai maka akan terjadi krisis pangan. Sistem pangan juga harus memiliki ketahanan yang cukup terhadap resiko penurunan produksi pangan sebagai akibat faktor alam, krisis keuangan, sosial, dan politik (Rusastra, dkk, 2002).

Untuk tercapainya program ketahanan pangan tentunya bukanlah suatu hal yang mudah. Jika ditelaah secara cermat ketahanan pangan tidak semata-mata masalah ekonomi dalam arti sempit, melainkan harus dipandang dalam kerangka kenegaraan yang lebih strategis, termasuk masalah stabilitas dan ketahanan politik, pertahanan dan keamanan nasional. Oleh karenanya penyelesaian ketahanan pangan tidak selayaknya hanya didasarkan pada perspektif perdagangan bebas. Sebagai negara yang memiliki sumber daya yang relatif besar dan bervariasi, peningkatan ketahanan pangan haruslah didasarkan pada penggalangan kekuatan sumber daya dari dalam, dan sekecil mungkin tergantung input dari luar negeri. Gejala krisis pangan beberapa tahun terakhir ini bukan semata-mata kegagalan produksi pangan nasional, melainkan kegagalan dalam strategi pendekatan yang digunakan. Strategi pendekatan baru ketahanan pangan menjadi suatu keharusan agar dirumuskan dengan seksama. Pendekatan dimaksud menyangkut beberapa hal yang terdiri dari:

(1) desain kebijakan,

(2) manajemen pembangunan,

(3) pelaku utama pembangunan,

(4) fokus komoditas,

(5) peningkatan keterjangkuan, dan

(6) perubahan perilaku keluarga.

Dari semua pendekatan dimaksud keberpihakan terhadap masyarakat nampaknya lebih dominan, hal ini dapat dipahami karena masyarakatlah tujuan akhir yang paling penting dari program ini. Untuk itu pemberdayaan masyarakat terutama petani sebagai salah satu ujung tombak kegiatan pertanian menjadi sangat penting sebagai salah satu komponen yang dapat menentukan keberhasilan program ketahanan pangan.

Ukuran Keberhasilan Pelaksanaan Pembangunan

Ukuran Keberhasilan Pelaksanaan Pembangunan

Ukuran keberhasilan pembangunan idealnya harus ditentukan berdasarkan dimensi pembangunan, yakni tergantung kepada fokus dan orientasi pembangunan yang dilaksanakan dan dimensi mana yang lebih menjadi perhatian bersama bagi:

(1) Pengambil keputusan (Decision maker)

(2) Perencana (planner) sebagai perencana dan perancang (berbagai aktifitas pembangunan, tujuan dan targetnya serta pelaksanaannya),

(3) Pelaksana pembangunan itu sendiri sebagai pihak yang menjalankan atau sering disebut juga sebagai agen pembangunan,

(4) Masyarakat yang menjadi sasaran pembangunan.

Dimensi yang menjadi perhatian ini kemudian diberikan indikator. Indikator-indikator dari berbagai dimensi pembangunan inilah yang kemudian dijadikan tolok ukur atau ukuran keberhasilan pelaksanaan pembangunan.

Secara teori semua kelompok dimensi pembangunan yang telah dikemukakan terlebih dahulu, dapat dicarikan indikator-indikatornya dan kemudian dipergunakan sebagai ukuran keberhasilan pelaksanaan pembangunan. Meskipun demikian, dalam kenyataannya berbagai pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pembangunan di berbagai tingkatan menerapkan ukuran dan indikator yang berbeda-beda untuk menunjukkan tingkat keberhasilan pelaksanaan pembangunan.

Pengukuran keberhasilan pembangunan harus melewati dua tahap, yaitu:

(1) Tahapan identifikasi target pembangunan, dan

(2) Tahapan aggregasi karakteristik pembangunan

Tahapan identifikasi target pembangunan diperlukan agar dapat menentukan secara jelas siapa yang akan menikmati hasil pelaksanaan pembangunan dan bagaimana upaya-upaya yang dapat dilakukan agar hasil pembangunan tersebut benar-benar dinikmati oleh mereka yang berhak. Sedangkan tahapan aggreasi karakteristik pembangunan diperlukan untuk menjaga agar ketika skala kegiatan pembangunan diperluas, target yang dituju tetap memenuhi karakteristik dan kriteria yang telah ditetapkan pada tahap identifikasi.

Ravalion and Datt (1996) menyarankan agar dapat diperoleh ukuran keberhasilan pembangunan yang lebih peka, maka faktor-faktor berikut perlu diperhitungkan, yaitu:

(1) pengeluaran real setiap orang dewasa,

(2) akses kepada barang yang tidak dipasarkan,

(3) distribusi intra rumah tangga dan

(4) karakteristik personal.

Pengeluaran real merupakan indikasi yang lebih akurat dari kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya. Pengeluaran real lebih mendekati kepada pengertian disposable income, yaitu pendapatan bersih setelah diperhitungkan berbagai pajak dan penyusutan-penyusutan. Akses kepada barang yang tidak dipasarkan perlu untuk merepresentasikan seberapa jauh fasilitas pelayanan publik dapat menjangkau masyarakat, baik fasilitas publik tersebut berupa infrastruktur, sarana maupun prasarana untuk berbagai jenis kegiatan dan aktifitas pembangunan masyarakat.

Kalau kita memperhatikan kelaziman pemakaiannya, maka ukuran pembangunan yang didasarkan pada dimensi ekonomi merupakan jenis yang paling luas dipergunakan di berbagai bagian dunia. Ukuran ini terutama dalam bentuk pendapatan dengan berbagai variasi dan turunannya, seperti produk domestik bruto (PDB), pendapatan nasional, pendapatan wilayah, pendapatan perkapita, pendapatan rumah tangga, distribusi pendapatan, tingkat investasi, tingkat dan nilai ekspor maupun impor dan seterusnya.

Variasi yang lain dari ukuran pembangunan tipe ini adalah dengan pendekatan pengentasan kemiskinan, yakni bahwa keberhasilan pembangunan diukur dengan seberapa jauh upaya-upaya pembangunan dapat mengentaskan kemiskinan. Secara garis besar problema kemiskinan dapat dibedakan atas dua jenis, yakni kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut biasanya dinyatakan dengan tingkatan tertentu yang harus dipenuhi atau diperlukan untuk dapat menjalankan hidup secara layak. Tingkatan ini lazim dikenal dengan garis kemiskinan. Ukuran yang dipakai sebagai garis kemiskinan ini berbeda-beda, tergantung sudut pandang dan fokus penelaahan yang bersangkutan. Sedangkan kemiskinan relatif adalah keadaan kekurangan yang dikenali setelah melakukan perbandingan dengan mendasarkan pada suatu dimensi yang sama, misalnya dimensi daerah, dimensi sektor, dimensi negara dst. Kemiskinan absolut berhubungan dengan besarnya pendapatan yang diperoleh, sedangkan kemiskinan relatif berhubungan dengan distribusinya.

Di Indonesia, beberapa jenis ukuran keberhasilan pembangunan yang banyak digunakan adalah:

(1) Berdasarkan pendapatan dan nilai produksi, seperti: PDB, pertumbuhan ekonomi, pendapatan perkapita, dan distribusi pendapatan.

(2) Berdasarkan investasi: tingkat investasi, jumlah PMA (Penanaman Modal Asing) dan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri), dan jumlah FDI (Foreign Direct Investment) yaitu investasi langsung oleh pihak asing.

(3) Berdasarkan kemiskinan dan pengentasannya: jumlah penduduk miskin, garis kemiskinan Sayogyo yang diadopsi oleh BPS (setara beras 320 kg di desa dan 480 di kota), tingkat kecukupan pangan (2100 kilokalori intake), tingkat kecukupan 52 jenis komoditas pangan, tingkat pemenuhan kebutuhan dasar sembilan bahan pokok (BPN), Poverty Gap dan Severity Index, serta metode RAO (16 kg beras dikali 1,25 kemudian dibagi dengan rata-rata rasio pangan terhadap pengeluaran total).

(4) Berdasarkan keadaan sosial kemasyarakatan dan kelestarian lingkungan: tingkat pendidikan (untuk berbagai level dan kombinasinya), tingkat kesehatan (meliputi kesehatan ibu dan anak dan akses kepada fasilitas hidup yang sehat), tingkat dan kualitas lingkungan (meliputi tingkat pencemaran berbagai aspek, tingkat keruasakan hutan, tingkat degradasi lahan dan seterusnya.

Dalam pengukuran keberhasilan pembangunan ini ada ukuran single dimension (dimensi tunggal) dan adapula yang multi dimension (dimensi ganda). Dimensi tunggal adalah ukuran pembangunan yang hanya memperhatikan satu dimensi pembangunan saja dalam penyusunan indikatornya, sedangkan dimensi ganda adalah ukuran keberhasilan pembangunan yang indikator-indikatornya memadukan berbagai dimensi secara integral.

Contoh ukuran keberhasilan pembangunan multi dimensi adalah indikator pembangunan manusia atau Human Development Index (HDI) dari World Bank. Indikator-indikator yang digunakan dalam HDI adalah: tingkat harapan hidup bayi, tingkat literasi orang dewasa, rasio partisipasi sekolah dasar dan lanjutan dan PDB per kapita. Indikator-indikator ini masing-masing diberikan indeks dan selanjutnya digabungkan menjadi indeks pembangunan manusia (Tabel 1).

Tabel 1. Human Development Index Tahun 1999 dari World Bank

Contoh yang lain adalah ukuran keberhasilan pembangunan yang digunakan oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang secara khusus dirancang untuk mengukur keberhasilan pembangunan di era milenium, dan karenanya dinamakan sebagai target pembangunan milenium atau Millenium Development Goal (MDG). Komponen indikator yang dikombinasikan dalam alat pengukur ini adalah:

(1) Menghapuskan kemiskinan dan kelaparan ekstrim

(2) Menjamin pendidikan dasar secara universal

(3) Mempromosikan kesetaraan gender dan memberdayakan wanita

(4) Mengurangi mortalitas anak

(5) Mingkatkan kesehatan ibu

(6) Memerangi AIDS/HIV, Malaria dan wabah penyakit lainnya

(7) Menjamin lingkungan yang lestari

( 8) Membangun kerjasama global untuk pembangunan

Amerika Serikat mengembangkan sejumlah indikator pembangunan berkelanjutan, yaitu untuk mengakomodasikan keinginan mengukur keberhasilan pembangunan dan sekaligus juga untuk mengukur kemampuan aktifitas pembangunan tersebut untuk tetap dilanjutkan dari periode ke periode. Ukuran ini juga termasuk ukuran multi dimensi. Ukuran ini memberikan 32 macam indikator yang berbeda dari berbagai dimensi pembangunan. Yang menarik adalah bahwa konsep ini diajukan oleh pihak swasta yang merupakan campuran berbagai pihak dengan berbegai visi dalam pembangunan, mulai dari beberapa kelompok siswa sekolah menengah atas yang aktif dalam pembangunan berkelanjutan, gabungan dari lebih kurang 500 eksekutif dari berbagai perusahaan swasta dan wakil-wakil dari berbagai lembaga swadaya masyarakat. Konsep ini kemudian mereka ajukan kepada pemerintah federal Amerika Serikat untuk mendapatkan persetujuan dan legitimasi bagi pemberlakuannya.

Tantangan Pembangunan

Tantangan Pembangunan

Menyikapi era perdagangan bebas ASEAN (AFTA) 2003, dimana terjadi persaingan pasar yang tinggi antara negara-negara ASEAN, perlu kebijakan pemerintah Indonesia dalam menjawab tantangan pembangunan di berbagai sektor, sehingga produk barang dan jasa yang dihasilkan mampu bersaing dengan produk negara lain. Salah satunya adalah pembangunan di sektor pertanian. Kebijakan pembangunan tersebut adalah untuk menghasilkan produk pertanian dan perkebunan seperti industri agribisnis yang menghasilkan produk pertanian handal dan berkualitas ekspor. Untuk itu diperlukan pemberdayaan petani sebagai persiapan sumber daya petani profesional yang siap bersaing dalam menghasilkan produk pertanian.

Tantangan utama pembangunan ekonomi nasional adalah bagaimana memberdayakan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil, menengah dan koperasi, dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan. Sistem ini mensyaratkan adanya partisipasi yang luas dari seluruh masyarakat, baik dalam proses pembangunan ekonomi itu sendiri, maupun dalam menikmati hasil-hasilnya.

Tantangan pembangunan pertanian dalam menghadapi era agribisnis adalah kenyataan bahwa pertanian Indonesia didominasi oleh skala kecil yang dilaksanakan oleh berjuta-juta petani. Sebagian besar tingkat pendidikannya sangat rendah. Sebanyak 87% dari 35 juta tenaga kerja pertanian berpendidikan SD ke bawah, berlahan sempit, bermodal kecil dan memiliki produktifitas yang rendah. Kondisi ini memberikan dampak yang kurang menguntungkan terhadap persaingan di pasar global, karena petani dengan skala usaha kecil itu pada umumnya belum mampu menerapkan teknologi maju yang spesifik lokasi. Hal ini selanjutnya berakibat kepada rendahnya efisiensi usaha dan jumlah serta mutu produk yang dihasilkan.

Secara garis besar kewenangan pemerintah pusat dalam bidang pembangunan pertanian terbatas pada aspek pengaturan, penetapan standar, pedoman dan norma. Dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah pada pasal 7, ayat 2 disebutkan bahwa kewenangan pemerintah pusat meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional.

Dampak globalisasi yang utama adalah berlakunya liberalisasi perdagangan, perkembangan IPTEK yang amat cepat dalam kemajuan di bidang komunikasi yang menyebabkan makin mudah keluar masuknya informasi antar negara. Hal ini juga berpengaruh pada kebijakan pembangunan pertanian.

Telah diketahui umum bahwa walaupun sudah ada usaha-usaha nyata dari pihak bangsa-bangsa sedang berkembang sendiri maupun dari pihak negara donor, dan walaupun terjadi tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi di negara sedang berkembang, kemiskinan penduduk terus meningkat secara mutlak. Situasi ini ditandai dengan keadaan gizi yang sangat tidak stabil dan terus menerus kekurangan dalam mencukupi kebutuhan penduduk yang terus meningkat. Selain itu juga ditandai oleh adanya pengangguran dan kekurangan pekerjaan yang menimpa para pencari kerja yang jumlahnya terus bertambah dan juga akibat terjadinya marginalisasi sosial-ekonomi masyarakat desa serta kota.

Jumlah penduduk yang harus puas dengan penghasilan yang pas-pasan, bahkan di bawah minimun, sebenarnya terus bertambah. Namun ini baru merupakan salah satu dari permasalahan sebenarnya. Disisi lain, polaritasi yang menonjol antara “yang miskin” dan “yang kaya” telah terjadi pada beberapa tingkatan kehidupan. Misalnya antara bangsa maju dengan bangsa sedang berkembang, antara wilayah yang lebih maju dengan wilayah terkebelakang dalam suatu negara, dan akhirnya antara beberapa strata sosial dan seterusnya ke bawah sampai ke tingkat desa.

Kebanyakan negara dapat menyelesaikan hal-hal yang potensial dalam melaksanakan program pembangunan pedesan ini. Masalahnya adalah apakah mereka akan dapat mengarahkan seluruh kekuatan potensial ini dengan cepat tanpa menimbulkan terlampau banyak akibat sosial dan politik. Dimana-mana telah tumbuh perasaan rakyat akan keadilan, persamaan sosial dan batas kemiskinan yang masih dapat diterima.

Pembangunan ekonomi memerlukan stabilitas politik pada keadaan tertentu. Akan tetapi banyak negara menghadapi bahaya kegelisahan politik yang cukup besar sebagai akibat dari ketidakpuasan rakyat. Dimana masa lalu kegelisahan semacam ini sering menjadi masalah penduduk kota. Kini hal tersebut bisa juga terjadi di daerah pedesaan, tempat kesadaran politik semakin tumbuh. Penduduk pedesaan tidak lagi mau diam menerima penyelewengan-penyelewengan bantuan pembangunan dibandingkan dengan sektor industri perkotaan.

Ternyata kebanyakan negara sektor pedesaan tidak cukup dipersiapkan untuk melaksanakan tugas berat ini. Memang sekarang ini masalah pertanian lebih mendapat perhatian, tetapi kekurangan sumber daya manusia dan modal, kondisi struktur sosial dan peraturan tanah serta kelemahan administrasi, telah menghambat berlangsungnya terobosan pembangunan secara besar-besaran. Konsep-konsep pembangunan pedesaan mulai dari paket-paket pembangunan masyarakat dan pendekatan pembangunan pedesaan terpadu sampai dengan konsepsi kebutuhan dasar di masa lalu ternyata bukan merupakan alat yang secara umum efektif dan layak.

Program pembangunan nasional diorientasikan pada masalah penanggulangan kemiskinan, tenaga kerja di pedesaan, ketahan pangan, pemberdayaan pengusaha kecil menegah dan koperasi. Pembangunan di bidang pertanian diarahkan pada peningkatan produktivitas pangan yang meliputi padi, palawija dan hortikultura yang dilakukan melalui intensifikasi, diversifikasi, rehabilitasi dan ekstensifikasi. Pada dasarnya pembangunan pertanian adalah merupakan bagian dari pembangunan ekonomi, yaitu suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.

Pembangunan sektor pertanian menjadi sangat strategis mengingat sumber daya manusia yang berada di sektor ini cukup banyak. Dengan kata lain, pembangunan-pembangunan di sektor ini mempunyai dampak yang luas terhadap pengentasan kemiskinan, perbaikan kualitas sumber daya manusia, pemerataan pembangunan dan keadilan sosial.

Sektor pertanian dalam tatanan pembangunan nasional memegang peranan penting karena selain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, juga merupakan sektor andalan penyumbang devisa negara di sektor non migas. Besarnya kesempatan kerja yang dapat diserap dan besarnya jumlah penduduk yang masih tergantung pada sektor ini memberikan arti bahwa di masa mendatang sektor ini masih perlu ditumbuhkembangkan.

Dimensi Pelaksanaan Pembangunan

Dimensi Pelaksanaan Pembangunan

Keinginan setiap individu dan keinginan berbagai golongan masyarakat berbeda-beda, karena itu tujuan yang ingin mereka capai dalam pelaksanaan pembangunan juga berbeda-beda. Kenyataan ini memberikan dimensi bagi pelaksanaan pembangunan tersebut. Dimensi yang dimaksudkan adalah bagian-bagian atau aspek-aspek yang menjadi fokus perhatian dalam pelaksanaan pembangunan. Dimensi pembangunan ini bisa berupa:

(1) aspek,

(2) wilayah atau region,

(3) sektor atau kelompok industri atau aktivitas pembangunan masyarakat, dan

(4) jenis problema yang menjadi titik sasaran dan ingin dipecahkan dengan pelaksanaan pembangunan.

Dimensi pembangunan dilihat berdasarkan aspek yang menjadi titik sasarannya, dapat dibedakan atas dimensi ekonomi dan non ekonomi. Umumnya dimensi ekonomi adalah dimensi pembangunan yang titik fokusnya adalah perbaikan kondisi ekonomi dari sasaran pembangunan tersebut, seperti misalnya pendapatan (baik besarnya maupun distribusinya), jumlah tabungan, akumulasi modal, perubahan kualitas dan kuantitas sumberdaya, perkembangan aset yang dimiliki dan sejenisnya. Sedangkan dimensi non ekonomi adalah dimensi pembangunan yang titik beratnya perbaikan kondisi non ekonomi seperti pendidikan, kesehatan, lingkungan, peluang dan kesempatan berusaha, keadilan dan hukum dan sejenisnya.

Dimensi pembangunan juga dapat dilihat berdasarkan wilayah atau regionnya. Berdasarkan hal ini kita kemudian mengenal ada aktifitas-aktifitas pembangunan pedesaan dan pembangunan perkotaan. Sesuai dengan namanya, aktifitas pembangunan pedesaan adalah upaya-upaya pembangunan untuk memperbaiki kondisi wilayah pedesaan. Perbaikan kondisi wilayah pedesaan ini dapat dilakukan secara langsung di lokasi pedesaan yang bersangkutan, namun ada juga aktifitas-aktifitas pembangunan pedesaan yang tidak dilakukan langsung di lokasi pedesaan, melainkan di tempat atau wilayah lain. Meskipun demikian dampak dari aktifitas pembangunan ini cukup besar dan signifikan bagi pembangunan pedesaan tersebut.

Sebagai contoh dapat dikemukakan upaya perbaikan sistem pemasaran suatu produk pertanian. Aktifitas pembuatan kebijakan, rapat dan pertemuan pihak-pihak yang terkait, diskusi, seminar dan kegiatan lain yang sejenisnya, mungkin tidak dilakukan di pedesaan yang bersangkutan, tetapi di suatu wilayah perkotaan, namun demikian rangkaian aktifitas tersebut masih digolongkan sebagai aktifitas pembangunan berdimensi pedesaan. Hal yang sama juga berlaku untuk dimensi pembangunan perkotaan, yaitu upaya-upaya untuk memperbaiki kondisi wilayah perkotaan, baik upaya atau aktifitas tersebut dilakukan di wilayah perkotaan yang bersangkutan maupun dilakukan di tempat lain misalnya di wilayah pedesaan, misalnya pembangunan bendungan untuk menyediakan listrik bagi wilayah perkotaan. Mungkin saja lokasi sungai yang dibendung berada cukup jauh dari suatu wilayah perkotaan, namun di perkotaan tersebut dibangun jaringan listrik yang dibangkitkan dengan memanfaatkan fasilitas bendungan ini.

Aktifitas pembangunan di masyarakat sangatlah luas dan beragam, sehingga dalam pencatatan dan pendataan aktifitas-aktifitas tersebut lazimnya dikelompokkan atas beberapa kelompok industri atau sektor. Sebenarnya sebutan sektor lebih tepat, karena umunya yang dimaksudkan dengan kelompok industri atau sektor ini mencakup juga aktifitas-sktifitas non industri, seperti perdagangan dan jasa, serta pertanian dalam arti luas dan pertambangan. Sektor-sektor dalam suatu perekonomian ini merupakan dimensi yang lain dari upaya pembangunan. Tergantung pada seberapa rinci atau mendetailnya penggolongan sektoral ini, maka dimensi pembangunanpun kan mengikuti pula. Sehingga berdasarkan penggolongan ini kita kemudian mengenal misalnya dimensi pertanian dalam arti luas, dimensi banguna, dimensi berbagai jenis industri, dimensi jasa-jasa termasuk jasa keuangan dan seterusnya.

Dimensi pembangunan berdasarkan jenis problematik yang ingin diselesaikan meliputi:

(1) pertumbuhan atau perbaikan keadaan dan

(2) pemerataan.

Kalau aktifitas pembangunan diumpamakan sebagai sebuah kue, maka dimensi pertumbuhan memiliki orientasi ke arah pembesaran kue tersebut dahulu, sementara dimensi pemerataan merefleksikan seberapa jauh kue pembangunan ini telah didistribusikan di antara kelompok masyarakat sebagai bagian dari suatu sistem perekonomian atau unit pelaksanaan aktifitas pembangunan tersebut. Terlepas dari adanya polemik yang terus berkembang tentang trade off antara pertumbuhan dan pemerataan ini, kita dapat melihat bahwa pembangunan dan aktifitas-aktifitas di dalamnya akan sangat berbeda bila kita melihatnya berdasarkan dimensi pertumbuhan atau dimensi pemerataan. Secara makro, aktifitas pembangunan dalam dimensi pertumbuhan akan lebih terfokus pada upaya peningkatan produktivitas berbagai sumberdaya pembangunan. Sebaliknya aktifitas pembangunan dalam dimensi pemerataan akan lebih memforkuskan diri pada upaya-upya redistribusi income dan nilai tambah di antara berbagai golongan masyarakat.

KARAKTERISTIK PEMBANGUNAN

KARAKTERISTIK PEMBANGUNAN

1 Pengertian Pembangunan

Pada umumnya setiap orang tentu menginginkan keadaan yang lebih baik dari keadaannya sekarang, untuk semua aspek kehidupannya. Meskipun demikian pengertian kehidupan yang lebih baik ini mungkin sekali akan berbeda-beda pada setiap orang. Perbedaan ini merupakan refleksi dari perbedaan dalam kebutuhannya masing-masing. Sebagai contoh, orang yang telah memiliki rumah tinggal yang memadai dan tingkat konsumsi yang cukup, mungkin ingin memperbaiki kehidupannya dengan memiliki alat transportasi yang baik dan nyaman untuk keluarganya. Sebaliknya bagi keluarga yang masih belum mampu memenuhi kebutuhan pangan mereka sehari-hari, perbaikan yang dinginkan adalah berupa kecukupan pangan bagi mereka sekeluarga.

Setiap orang dengan caranya masing-masing tentu ingin mendayagunakan segala sumberdaya, aset, dan kemampuannya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Limpahan sumberdaya yang diterima (resource endowment), jumlah aset yang dikuasai, dan kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang dan setiap golongan masyarakat tidaklah sama. Ini akan berimplikasi pada kemampuan orang atau golongan masyarakat tersebut untuk mencapai tujuan mereka dalam rangka memperbaiki aspek-aspek kehidupannya. Sesungguhnya usaha untuk menerapkan kemampuan dalam pengelolaan sumberdaya dan aset yang dimiliki untuk mencapai keadaan yang lebih baik adalah merupakan aktifitas pembangunan. Kemampuan mengelola, ketersediaan sumberdaya, dan jumlah aset yang dimiliki dengan demikian merupakan tiga faktor utama yang menentukan keberhasilan pelaksanaan pembangunan. Semakin tinggi kemampuan mengelola akan membuat semakin banyak alternatif-alternatif yang dapat dikembangkan untuk melaksanakan pembangunan. Demikian juga dalam hal sumberdaya, semakin banyak sumberdaya yang dikuasai dan semakin besar tingkat penguasaan terhadap sumberdaya tersebut, akan semakin besar pula peluang pembangunan yang dilaksanakan akan berhasil dengan lebih baik. Dalam hal jumlah aset, kecenderungannya adalah bahwa semakin banyak aset yang dikuasai (misalnya dukungan infrastruktur, sarana, dan prasarana) akan semakin mudah mewujudkan rencana dalam pelaksanaan pembangunan.

Pengertian kemampuan di atas mencakup kemampuan dalam hal penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan teknologi. Untuk setiap aktifitas pembangunan mulai dari yang paling sederhana, misalnya aktifitas nelayan kecil mengail ikan, sampai aktifitas pembangunan yang kompleks misalnya usaha negara-negara anggota Uni Eropa untuk membangun suatu sistem perekonomian yang akan memperkuat posisi mereka dalam relasi perdagangan international, semuanya membutuhkan kemampuan dalam tiga aspek tersebut di atas.

Untuk mengail ikan nelayan memerlukan pengetahuan sederhana tentang perlengkapan pancing, jenis umpan yang dapat digunakan, dan lokasi yang kemungkinan banyak ikannya. Nelayan ini juga memerlukan keterampilan untuk mengangkat pancing, sehingga ikan yang telah mematuk umpan tidak sampai terlepas. Nelayan ini juga menerapkan teknologi sederhana bagaimana matakail dibuat dan digunakan agar dapat membantu meningkatkan produktifitasnya dalam mengail. Demikian juga halnya dengan kolaborasi negara-negara anggota Uni Eropa. Mereka memerlukan ilmu pengetahuan dalam bidang ekonomi dan perdagangan international, sehingga dapat memformulasikan sistem transaksi yang dapat diandalkan (reliable). Mereka memerlukan keterampilan negosiasi untuk mewujudkan maksud mereka, tidak saja agar diterima oleh negara-negara anggota, melainkan juga untuk sosialisasi rencana dan program mereka agar tidak mendapatkan tantangan dari negara-negara lain di dunia. Mereka juga memerlukan teknologi pendukung untuk mewujudkan maksud mereka, misalnya berupa teknologi monitoring dan komunikasi yang sangat penting bagi keberlangsungan proyek mereka.

Contoh di atas menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan, keterampilan dan teknologi merupakan suatu kelompok faktor yang berpengaruh besar terhadap keberhasilan pelaksanaan pembangunan. Tidak perduli apakah itu untuk upaya pembangunan sederhana yang bersahaja, atau untuk upaya pembangunan yang rumit dan kompleks.

Sumberdaya untuk pembangunan umumnya dibedakan atas: sumberdaya alam (natural resources), sumberdaya manusia (human resources), sumberdaya modal (capital), dan sumberdaya berupa teknologi. Modal dan teknologi sering juga digolongkan sebagai sumberdaya buatan (man made resources). Sumberdaya alam meliputi misalnya lahan, bahan tambang (minyak, batu bara), hutan dan sebagainya.

Dalam aktifitas pembangunan beberapa ahli percaya bahwa berbagai jenis sumberdaya tersebut berbeda-beda kedudukannya, sesuai dengan kontribusinya masing-masing terhadap aktivitas pembangunan. Keterbatasan pemilikan lahan bukan faktor yang sifatnya kritis yang menyebabkan kemiskinan. Faktor kritis (critical factor) penyebab kemiskinan adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Peningkatan kualitas populasi dan investasi pendidikan sangat penting untuk upaya-upaya pembangunan dan pengentasan kemiskinan di suatu wilayah.

Dalam faktor-faktor penentu keberhasilan pembangunan, sumberdaya manusia bersama-sama teknologi dipisahkan dari kelompok sumberdaya, dan digolongkan dalam kelompok lain yang lebih kritikal dari sumberdaya dan aset, yaitu kemampuan mengelola. Kualitas sumberdaya manusia yang baik bila dipadukan dengan kemampuan dan penguasaan teknologi yang maju akan memberikan peluang yang lebih besar bagi seseorang atau sekelompok masyarakat untuk menemukan alternatif pendayagunaan sumberdaya dan aset yang dimilikinya secara lebih efisien sehingga hasil yang dicapai menjadi lebih optimal.

Jumlah aset yang dimiliki sebelumnya (initial assets) merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pelaksanaan pembangunan. Dengan pemilikan aset yang lebih baik, individu atau kelompok masyarakat tertentu akan memiliki peluang yang lebih baik dan kemudahan yang lebih banyak dalam pelaksanaan pembangunan. Selanjutnya hasil pembangunan dapat berkontribusi pada pembentukan aset yang lebih baik. Kenyataan inilah yang melatarbelakangi munculnya problema lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty).

Orang-orang miskin umumnya tidak memiliki aset yang baik dan kemampuan mereka sangat terbatas. Meskipun sumberdaya di sekitar mereka kadangkala melimpah, tapi penguasaan mereka terhadap sumberdaya tersebut sangat terbatas. Konsekuensinya, dalam upaya dan aktifitas pembangunan yang mereka laksanakan mereka menjadi jauh tertinggal, dibandingkan kelompok masyarakat lain yang mempunyai kemampuan, aset dan pengusaan sumberdaya yang lebih baik. Kondisi ini terus berlanjut berjalan ke arah pelebaran gap kaya miskin, karena yang kaya akan semakin kaya karena hasil pembangunan mereka lebih baik, sementara yang miskin akan semakin tertinggal karena pembangunan yang dijalankannya berjalan jauh lebih lambat.

Aktifitas pembangunan ini dapat dilakukan oleh seorang individu, sekelompok masyarakat, sebuah komunitas masyarakat dalam suatu wilayah propinsi, negara atau bahkan juga komunitas international. Dalam pembangunan yang dilaksanakan oleh sekelompok masyarakat atau kumpulan komunitas yang lebih luas, secara umum cenderung mempunyai kekuatan yang lebih besar dan karenanya juga memiliki implikasi yang lebih luas. Hal ini karena dalam aktifitas pembangunan mereka kemampuan, aset dan sumberdaya dipadukan. Meskipun demikian sinkronisasi diperlukan dalam aktifitas ini sehingga perbedaan yang ada di antara individu-individu anggota kelompok tersebut tidak membesar dan berkembang menjadi konflik yang tidak menguntungkan bagi aktifitas pembangunan.

Dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa setiap individu ingin perbaikan dalam kehidupannya, dan bahwa keinginan individu-individu tersebut berbeda-beda tergantung kebutuhannya masing-masing, maka tujuan pembangunan juga berbeda-beda. Aktifitas pembangunan yang melibatkan lebih dari satu individu memerlukan suatu perekat untuk mengkoordinasikan segenap aktifitas secara sinergis. Perekat tersebut lazimnya berupa tujuan yang sama. Bila tujuan yang sama dapat diangkat menjadi tujuan bersama, maka kemudian akan mudahlah melakukan koordinasi untuk memadukan segenap sumberdaya, aset dan kemampuan yang dimiliki dalam kelompok tersebut untuk mencapai hasil pembangunan yang optimal.

Kebudayaan dan Perkembangan Desa

Kebudayaan dan Perkembangan Desa

Eksistensi suatu masyarakat sangat banyak ditentukkan oleh kehadiran orang-orang yang dapat memelihara dan mengembangkan kebudayaan, mengambil peran aktif dan melaksanakan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan masyarakat dapat melaksanakan proses perubahan dan merencanakan pembangunan secara berkesinambungan. Akan tetapi orang yang mempunyai kemampuan demikian tidak lahir atau berada secara sendirinya. Ia harus dipelajari dan dikembangkan melalui orang-orang lain, lembaga-lembaga lain yang ikut serta, baik lembaga formal maupun non formal untuk berperan dalam pengembangan potensi kreatif masyarakat.

Pendidikan adalah yang paling menentukan apalagi dalam masyarakat yang baru memulai berangkat maju. Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa kehadiran lembaga pendidikan yang representatif adalah esensial untuk suatu masyarakat yang sedang berusaha untuk mencairkan diri dari kebekuan seperti yang terjadi pada masyarakat yang masih terisolir dan sangat kurang fasilitas pendidikan.

Manusia tak dapat hidup tanpa kebudayaan. Kebudayaan menentukan dan mengajarkan bagaimana seyogyanya manusia hidup dalam masyarakat agar tetap aman, tertib dan tenang. Dan ia mengajarkan bagaimana seyogyanya seseorang bertingkah laku dalam hubungannya dengan alam sekitarnya baik nampak maupun yang tidak nampak. Kebudayaan pada mulanya diciptakan oleh manusia untuk kemaslahatan suatu kelompok masyarakat tertentu. Setelah kebudayaan itu tercipta ia merupakan sesuatu yang hidup dan pada gilirannya sangat mempengaruhi. Kebudayaan merupakan abstraksi dari suatu masyarakat yang menunjuk pada bagaimana pola tingkah laku yang dianggap baik dan kurang baik.

Dalam hubungannya dengan apa yang dikemukakan di atas tentang kebudayaan, khususnya kebudayaan adat, akan ditelusuri sampai sejauh mana unsur kebudayaan ini memberikan pengaruh pada pola perilaku berdasarkan pada kaidah-kaidah normative yang terbentuk berdasarkan system nilai yang dianut berdasarkan suatu kesadaran bersama, suatu komunitas yang dihayatinya sebagai masyarakat asli ataupun pendatang. Daya integrasi dan kekuatan kohesif berbagai kebudayaan etnis yang ada di Indonesia relatif berbeda satu dengan yang lainnya.

Pertambahan penduduk, pengendalian kelahiran, keterbatasan lahan, tingkat kesuburan tanah, pengadaan air, kerusakan lingkungan, alih teknologi dan keterampilan reorganisasi dan reformasi aparat pemerintahan dan lembaga-lembaga sosial ekonomi, budaya kerja dan pemanfaatan tenaga kerja adalah beberapa diantara sekian banyaknya masalah yang pada umumnya dihadapi oleh masyarakat desa di Indonesia yang sedang membangun.

Dinamika perkembangan masyarakat banyak ditentukan oleh pandangan masyarakat itu terhadap “kerja” sebagai hakikat hidup. Ia adalah system nilai, bagian dari atau merupakan kebudayaan itu sendiri. Budaya mencakup domain yang sangat luas dan secara signifikan mendukung percepatan perkembangan masyarakat desa. Banyak faktor yang merupakan bagian dari kebudayaan, termasuk ilmu pengetahuan, keterampilan, teknologi, kekayaan sumberdaya alam dan kepribadian mandiri, juga semangat, gairah dan ketahanan kerja suatu komunitas.

Tujuan Pelaksanaan Pembangunan Pedesaan

Tujuan Pelaksanaan Pembangunan Pedesaan

Pembangunan pedesaan di Indonesia menginginkan agar masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan. Selain itu sasaran pembangunan tidak hanya menyangkut pembangunan fisik, akan tetapi juga pembangunan mental spiritual. Asumsi yang melandasi ini ialah bahwa pembangunan berpangkal dan juga bertujuan pada diri manunsia. Karena itu penelusuran terhadap makna pembangunan senantiasa tidak dapat melepaskan diri dari manusia yang mempunyai potensi dan yang sering dipandang sebagai subjek maupun objek pembangunan. Titik tolak dari falsafah pembangunan adalah manusia dan tujuann akhirnya adalah manusia pula (Susanto, 1983).

Apabila tujuan pembangunan adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat, kenyatannya memang menunjukkan bahwa keadaan seperti ini belum sepenuhnya tercapai. Hal ini terjadi akibat pola pendekatan pembangunan yang ditetapkan selama ini masih cenderung bersifat top down. Pendekatan ini kurang berorientasi terhadap upaya memenuhi kebutuhan masyarakat. Asumsi dari pendekatan ini (top down) adalah masyarakat, khususnya yang berada di desa kurang mampu mencari solusi dari masalah yang dihadapi. Pendekatan ini juga dianggap kurang memandang masyarakat desa sebagai modal, daya dan potensi pembangunan.

Pembangunan pedesaan sebagai bagian dari pembangunan nasional mempunyai arti yang strategis, karena desa secara keseluruhan merupakan basis atau landasan ketahanan nasional bagi seluruh wilayah negara republik Indonesia. Keberhasilan pembangunan pedesaan menghasilkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju pada terciptanya keadilan bagi seluruh rakyat. Hal ini karena 80% penduduk Indonesia tinggal di wilayah pedesaan (Tansil, 1984).

Pembangunan desa mencakup pembangunan di segala aspek baik ideologi, politik, sosial, budaya, ekonomi, agama dan pertahanan keamanan. Dengan mendasarkan kepada pendekatan bahwa pembangunan dilaksanakan dari, oleh dan untuk rakyat dengan bantuan pemerintah maka terdapat adanya kewajiban yang harus dilaksanakan bersama antara pemerintah dan masyarakat secara seimbang.

Mencermati pengertian pembangunan masyarakat desa dan pembangunan desa sebagai dua istilah yang berbeda dapat dijelaskan bahwa kedua istilah tersebut juga dikenal di dunia internasional, yaitu pembangunan masyarakat desa sebagai “Community Development” yang mengandung makna pembangunan dengan pendekatan kemasyarakatan (Community Approach) partisipasi masyarakat (community partisipation) dan organisasi kemasyarakatan (community organisation). Dalam hubungan ini pendekatan-pendekatan pengorganisasian dan pelaksanaan berorientasi sepenuhnya kepada inisiatif dan kreasi masyarakat.

Sedangkan pembangunan desa sebagai “Rural Development” mempunyai arti yang lebih luas lagi. Pembangunan masyarakat desa sudah tercakup di dalamnya. Pembangunan desa dapat dikatakan sudah menjadi metode yang merupakan satu kebulatan, terdiri dari komponen-kompenen yang satu sama lainnya saling berkaitan, dimana pembangunan masyarakat merupakan salah satu komponen yang sangat penting dan menentukan yang harus dibangun utuh bersama-sama dengan lingkungan fisik dan lingkungan hidupnya. Dengan demikian apabila kita berbicara tentang pembangunan pedesaan maka pada hakekatnya yang kita pikirkan adalah pembangunan masyarakat desa (Tansil, 1984).

Pembangunan desa sepenuhnya dapat pula dilihat dari berbagai segi. Ia merupakan suatu proses perubahan dari tata cara hidup tradisional masyarakat pedesaan menjadi masyarakat yang lebih maju. Ia juga merupakan suatu “metode” yang mengusahakan agar rakyat berkemampuan membangun diri mereka sendiri sesuai dengan kemampuan dan sumber-sumber yang mereka punyai. Banyak pakar pembangunan desa, khusunya negara berkembang berpendapat bahwa strategi pembangunan berencana dipandang mampu mempercepat proses perubahan itu. Dalam pembangunan seperti ini masyarakat perlu berpartisipasi dalam merencanakan pembangunan disamping keikutsertaan pihak-pihak luar. Masyarakat ikut serta dalam menentukan arah dan tujuan pembangunan sesuai dengan kebutuhan mereka serta ikut dalam pelaksanaannya sesuai dengan potensi dan sumber daya yang ada pada mereka (Ginting, 2000).

Pentingnya partisipasi masyarakat, khususnya dalam pelaksanaan otonomi daerah dapat dilihat dalam penjelasan UU NO. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah, dimana dicantumkan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah dapat dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokratis, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.

Pembangunan desa dapat dilihat dalam lima wujud yang berbeda yaitu:

(1) Proses

(2) Metode

(3) Program

(4) Gerakan

(5) Gaya hidup

Sebagai “proses” maka pembangunan desa lebih ditekankan pada aspek perubahan yang terjadi dalam kehidupan rakyat, baik yang menyangkut segi-segi sosial maupun segi-segi psikologis. Sebagai “metode” ia lebih ditekankan pada tujuan yang ingin dicapai. Sebagai “program” maka tekanannya pada bidang-bidang dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan seperti pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Sedangkan sebagai “gerakan” maka pembangunan desa ditekankan kepada kerangka ideologi yang mendasari dan mengarahkan proses, metode dan program pembangunan desa itu sendiri. Lebih penting dari semua itu adalah ketika pembangunan desa telah menjadi ”gaya hidup”. Artinya orientasi untuk mencapai keadaan yang lebih baik telah tertanam sebagai komitmen umum masyarakat yang melembaga, sehingga dalam perjalanan waktu selalu diupayakan agar dengan sumberdaya, aset dan kemampuan yang dimiliki dapat dicapai kehidupan yang lebih baik.

Pembangunan desa mempunyai makna yang lebih hakiki bagi rakyat Indonesia, karena realisasinya berusaha menyentuh segala lapisan masyarakat, melalui pembangunan yang menyeluruh, menyebar luas ke seluruh pedesaan dan dengan menggali serta menggerakkan partisipasi masyarakat. Memadukan arah pembangunan sektoral maupun regional sesuai dengan kebutuhan esensial masyarakatnya. Kebijakan pelaksanaan dalam pembangunan desa adalah gambaran dari suatu proses pembangunan ke arah terciptanya Desa Swasembada sebagai landasan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, lahir dan batin berdasarkan pancasila.

Pembangunan desa harus dilaksanakan secara terarah, dinamis dan berkelanjutan dalam arti bahwa pembangunan desa akan terus dilaksanakan dengan memperhatikan situasi dan kondisi serta kemampuan yang dimiliki oleh desa tersebut terutama yang menyangkut potensi manusia dan daya dukungnya. Agar gerak dan arah pembangunan desa senantiasa tertuju kepada kepentingan masyarakat di desa maka perlu adanya prinsip pokok kebijakan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Prinsip pokok tersebut merupakan pedoman dalam mengelola dan mengendalikan pembangunan.

Adapun tujuan dasar dari pembangunan pedesaan adalah mengurangi dan akhirnya menghapuskan kemiskinan yang berkepanjangan (walaupun kita tentu saja mengakui bahwa perhatian utama harus diberikan kepada tingkat maupun “pola” pengukuran pertanian, disesuaikan dengan tujuan strategis jangka panjang. Sedangkan inti dari pembangunan pedesaan adalah mendayagunakan tenaga kerja pedesaan, juga dipertimbangkan faktor-faktor penyedia sarana dan prasarana produksi, bahan baku, transportasi, dan keterampilan masyarakat (Kasryno dan Stepanek, 1985). Sedangkan tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya untuk menjadi masyarakat yang makmur dan sejahtera sesuai dengan visi pembangunan nasional bangsa Indonesia.

Untuk mewujudkan pembangunan pedesaan beberapa langkah yang perlu dilakukan antara lain :

* Mengembangkan dan meningkatkan kegiatan usaha masyarakat secara terpadu di bidang pertanian dalam arti luas, serta bidang-bidang lainnya seperti industri kecil dan kerajinan rakyat.
* Melaksanakan pelaksanaan usaha keluarga berencana
* Penelitian terhadap potensi masing-masing wilayah untuk melakukan penyususnan program yang terpadu sesuai dengan wilayah yang bersangkutan.
* Peningkatan keterampilan penduduk, khususnya pemuda untuk mengembangkan kewiraswastaan di desa sebagai kader pembangunan.
* Meningkatkan potensi/kemampuan, serta kualitas sumber daya masyarakat pedesaan melalui program-program penyuluhan.
* Menumbuhkan kegiatan usaha ekonomi masyarakat dalam rangka pengembangan desa seperti Koperasi Unit Desa (KUD) atau Badan Usaha Unit Desa (BUUD) lainnya termasuk Lembaga Simpan Pinjam Berbasis Masyarakat (LSP-BM), Tabungan Haji dll.
* Meningkatkan usaha penerangan (penyuluhan) kedaerah pedesaan melalui bermacam-macam media untuk mengembangkan motivasi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan.
* Meningkatkan dan memelihara sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menunjang peningkatkan produksi dan pemasarannya.
* Membina pengembangan permodalan.
* Memperluas dan memperbaiki fasilitas layanan kesehatan dan pendidikan.
* Membina wadah partisipasi dan penyalur pendapat masyarakat.
* Melakukan program-program padat karya dan menyerap tenaga kerja.
* Melaksanakan usaha yang mengarah pada perbaikan dan pelestarian lingkungan.
* Melaksanakan pemukiman kembali (Resettlement)
* Meningkatkan bantuan pembangunan desa.

Pembangunan pedesaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional merupakan basis dasar bagi pembangunan seluruh wilayah negara kesatuam Republik Indonesia. Keberhasilan pembangunan pedesaan akan menghasilkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, hal ini sangat mendorong terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pembangunan pedesaan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat merupakan sesuatu hal yang penting yang perlu dilakukan dan didukung oleh semua lapisan masyarakat dan pemerintah. Karena begitu pentingnya pelaksanaan pembangunan pedesaan maka kiranya perlu suatu perencanaan yang terpadu dengan asumsi bahwa pembangunan dilakukan dari, oleh dan untuk rakyat.

4.6. Hambatan Struktural Dalam Pembangunan Pedesaan

Dalam rangka pemerataan pembangunan ke seluruh wilayah tanah air Indonesia, GBHN menekankan perlunya perhatian khusus diberikan pada pembangunan pedesaan serta peningkatan kemampuan penduduk untuk memanfaatkan sumber-sumber kekayaan alam dalam menanggulangi masalah-masalah yang mendesak. Dalam hubungan ini perlu secara khusus pula diperbaiki dan diberikan perhatian kepada kelompok-kelompok berpenghasilan rendah di pedesaan, seperti buruh tani, penggarap yang tidak memiliki tanah, petani yang memiliki tanah yang sangat kecil, nelayan, pengrajin dan juga para transmigran agar mereka dapat ikut serta dalam pembangunan nasional.

Ilmu-ilmu sosial telah sejak lama memberikan perhatiannya pada pembangunan pedesaan, dengan mengemukakan berbagai pendekatan seperti Community Development yang menekan pada aspek pembangunan sosial kultural dan manusianya, dan rural development yang menekankan pada aspek pembangunan ekonominya, sehingga pembangunan ditekankan pada pembangunan ekonomi pedesaan.

Hambatan struktural sebenarnya tidak bersumber dari sebab-sebab yang sifatnya ekonomis mikro, seperti kekurangan modal, teknologi yang kurang memadai seperti seperti irigasi, sarana dan prasarana, serta input pelengkap seperti pupuk dan kredit, ketiadaan insentif yang menarik seperti struktur harga yang baik, tapi juga oleh adanya hambatan-hambatan yang bersumber dari dimensi struktural masyarakat pedesaan seperti susunan kekuasaan, dan pola-pola kelembagaan tradisional yang menyebabkan mereka terperangkap dalam kemiskinan. Jadi yang dimaksudkan dengan hambatan struktural pembangunan pedesaan adalah struktur-struktur kelembagaan dan tatanilai yang telah ada atau berkembang di pedesaan yang menyebabkan pembangunan pedesaan menjadi lebih sulit pelaksanaannya.

Beberapa di antara hambatan struktural dapat dikemukakan sebagai berikut:

(1) Transfer of technology, ini menyangkut penentuan teknologi yang bagaimana yang cocok untuk pedesaan, yaitu teknologi yang sesuai dengan keadaan dan tingkat perkembangan masyarakat pemakai teknologi.

(2) Problem of perception, dimana perencana pembangunan sering mengalami kesukaran dalam menyelaraskan antara tujuan-tujuan nasional dan kebutuhan rakyat dipedesaan.

(3) Model selection, yaitu kesukaran dalam memilih model pembangunan yang tepat.

(4) Lag, yaitu keterlambatan memperoleh hasil dari usaha yang dilakukan. Program pembangunan pedesaan lambat kelihatan hasilnya. Kebanyakan pemerintah di negara-negara berkembang menghendaki hasil yang cepat dan tidak sabar dengan pendekatan jangka panjang.

(5) Limited Appropriate support, yaitu menyangkut persoalan-persoalan praktis seperti kurang teknologi tepat guna, kurang pengelola yang terlatih, kelembagaan sosial yang kurang lengkap dan kurangnya demand yang efektif sehingga masih sukar mendorong produksi pedesaan.

(6) Institusional, yaitu bahwa pola pelayanan yang dijalankan pemerintah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat pedesaan setempat. Aparat pemerintah sering memposisikan lembaganya sebagai koordinator tunggal pembangunan di daerah pedesaan. Akibatnya, penduduk tidak merasa bahwa yang diusahakan pemerintah adalah untuk kepentingan masyarakat desa.

(7) Social system, yaitu sistem sosial masyarakat pedesaan yang unsur-unsurnya tumbuh dan berkembang di masyarakat. Di antara bentuk-bentuk sistem sosial ini ada yang eksistensinya justru menghambat pembangunan. Misalnya sikap masyarakat desa yang terlalu tergantung pada keputusan pimpinan mereka untuk menerima ataupun menolak sesuatu dapat digolongkan menjadi hambatan struktural jenis ini.

( 8) Social Stratification, yaitu kondisi pedesaan dimana warganya terstratifikasi atas golongan yang berbeda ekstrim, misalnya tuan tanah yang kaya dengan buruh tani yang miskin. Adanya stratifikasi ini juga menghambat pembangunan karena acquiring system, yaitu kemampuan ikut berpartisipasi masyarakat tidak sama, sehingga sering golongan miskin yang ditargetkan justru tidak dapat berpartisipasi.

Innovasi Pertanian untuk Pembangunan Pedesaan

Innovasi Pertanian untuk Pembangunan Pedesaan

Pada sebagian besar Negara Sedang Berkembang (NSB), teknologi baru di bidang pertanian dan inovasi-inovasi dalam kegiatan-kegiatan pertanian merupakan prasyarat bagi upaya-upaya peningkatan output dan produktivitas. Hal ini agak berbeda untuk beberapa negara di Afrika dan Amerika Latin, di mana peningkatan output telah dapat dicapai tanpa menggunakan teknologi baru yaitu hanya dengan memperluas areal pertanaman (ekstensifikasi) dengan memanfaatkan tanah-tanah yang dipakai, tetapi secara potensial cukup produktif.

Ada dua sumber inovasi teknologi yang bisa meningkatkan hasil-hasil pertanian. Kedua sumber ini mempunyai implikasi-implikasi yang sangat berbeda bagi pembangunan pertanian di NSB. Innovasi yang pertama adalah mekanisasi pertanian dan yang kedua adalah inovasi biologis.

Inovasi pertanian berupa penggunaan peralatan yang dapat menghemat tenaga (misal traktor-traktor besar) akan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap volume output setiap tenaga kerja, terutama sekali kalau tanah yang ditanami itu luas dan tenaga kerja agak langka. Sebagai contoh, seorang yang mengoperasikan mesin panen modern yang besar, dalam satu jam saja bisa mencapai hasil kerja, sama dengan 16 jam (dua hari kerja) apabila dilakukan dengan metode-metode tradisional.

Akan tetapi, daerah-daerah pertanian di NSB pada umumnya tanah dibagi-bagi dalam petak-petak kecil, modal sangat langka dan tenaga kerja berlimpah, maka pemakaian alat-alat teknologi mekanisasi pertanian yang besar-besar bukan hanya seringkali tidak sesuai dengan keadaan lingkungan secara fisik, tetapi juga yang lebih penting lagi adalah strategi tersebut seringkali menimbulkan pengangguran yang lebih tinggi lagi di daerah pedesaan. Oleh karena itu, pengimporan mesin-mesin ini merupakan kebijakan yang “anti pembangunan” karena penggunaan tidak mencapai efisiensi. Agar hasil kerjanya efisien maka diperlukan tanah yang luas dan hal tersebut akan menambah hebatnya masalah kemiskinan dan pengangguran di pedesaan yang memang sudah serius.

Sebaliknya, inovasi kedua yaitu inovasi biologis (seperti bibit unggul) dan kimiawi (pupuk buatan, pestisida, insektisida, dan lain-lain) merupakan usaha untuk memperbaiki mutu tanah yang ada dengan meningkatkan hasil (produktivitas) perhektar walaupun memang tidak langsung meningkatkan output setiap tenaga kerja. Penggunaan bibit unggul, teknik irigasi dan rotasi penanaman yang sudah lebih maju, memperbanyak penggunaan pupuk, pestisida, insektisida dan perkembangan baru di bidang kedokteran hewan dan pakan hewan, mencerminkan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan yang penting dalam pertanian modern.

Usaha-usaha ini secara teknologi bersifat netral, artinya secara teorotis bisa dipakai dalam pertanian besar maupun kecil dengan efektivitas yang sama. Usaha-usaha ini tidak memerlukan input modal yang besar atau peralatan mekanis. Oleh karena itu usaha-usaha seperti ini terutama sekali sangat sesuai untuk pertanian di daerah-daerah tropis dan sub-tropis.

Walaupun varietas bibit unggul (jagung, padi, kelapa sawit, dan sebagainya) bersifat netral dan karenanya akan memberikan potensi kemajuan bagi usaha tani kecil, tetapi sistem kelembagaan dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang menunjang pengenalannya ke dalam usaha tani kecil di pedesaan seringkali tidak bersifat netral.

Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Karena lembaga-lembaga dan kebijakan-kebijakan pemerintah tersebut hanya memenuhi kebutuhan dan menguntungkan para petani kaya saja. Sebab bibit unggul yang baru itu memerlukan tambahan input seperti irigasi, pupuk, insektisida, pestisida, kredit dan perluasan pekerjaan. Dan jika semua itu hanya diberikan kepada kelompok kecil petani kaya saja, maka kemelaratan dan kemiskinan massal yang melanda para petani kecil di pedesaan tidak dapat dihapuskan.

Para petani kaya dengan input tambahan dan usaha-usaha penunjangnya yang serba lengkap bisa mendapatkan keuntungan dalam bersaing dengan para petani kecil dan mungkin dapat menendang para petani kecil tersebut keluar dari pasaran. Petani kaya bisa mendapatkan fasilitas kredit dengan suku bunga yang rendah dari pemerintah, sedangkan petani kecil terpaksa meminjam uang dari rentenir dengan suku bunga yang sangat tinggi. Hasilnya, sudah pasti tidak bisa dielakkan lagi akan lebih memperbesar jurang pemisah antara si kaya dan si miskin dan peningkatan konsentrasi tanah pertanian berada dalam tangan beberapa gelintir orang saja.

Sebagai contoh dari penerapan pola inovasi teknologi yang pertama di atas yaitu inovasi mekanisasi adalah pembangunan pertanian di Amerika Serikat, sedangkan pola kedua telah diterapkan di Jepang. Keduanya mengalami sukses karena kedua pola tersebut memang cocok untuk masing-masing negara tersebut.

Jadi inovasi pertanian yang mempunyai potensi yang besar dan ditujukan untuk memerangi kemiskinan di pedesaan dan meningkatkan hasil pertanian, justru menjadi alat untuk melanggengkan kemiskinan dan penderitaan para petani kecil di pedesaan. Suatu hal yang ironis sekali, rencana dan tujuan pembangunan ini justru bisa berbalik menjadi “anti-pembangunan”. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan pemerintah dan sistem kelembagaan yang mematikan peran aktif para patani kecil dalam upaya mereka untuk mengubah struktur pertanian harus dihilangkan.

Untuk mengiringi penerapan inovasi pertanian ini di Indonesia, tampaknya tidak bisa diabaikan sebagai komplemen penentu keberhasilan penerapan tersebut adalah land reform, yaitu upaya-upaya untuk menata kembali pola pemilikan tanah agar lebih menguntungkan bagi petani dan lebih mempersempit peluang rent seeker yang mencoba mengail untung dengan menguasai tanah dengan mengharapkan peningkatan nilai jual tanah di masa depan.

Struktur pertanian dan pola penggunaan tanah perlu disesuaikan dengan tujuan ganda, yaitu meningkatkan produksi pangan dan meningkatkan pemerataan keuntungan bagi petani secara luas. Pertanian dan pembangunan desa yang menguntungkan rakyat kecil hanya bisa tercapai melalui usaha bersama antara pemerintah dengan semua petani, bukan hanya dengan petani kaya saja. Adapun langkah pertama dalam usaha bersama ini adalah pemberian dan perbaikan hak-hak penggunaan tanah kepada masing-masing petani.

Keterikatan petani kecil terhadap tanahnya sangat mendalam. Suatu perasaan yang merupakan ikatan batin yang sangat erat hubungannya dengan harga diri dan kebebasan dari segala macam paksaan. Apabila si petani itu kehilangan tanahnya atau ia jatuh miskin secara pelan-pelan karena dicekik utang yang menumpuk, maka bukan hanya keadaan lahiriahnya saja yang rusak, tetapi juga rasa kepercayaan kepada diri sendiri dan semangat untuk berusaha memperbaiki dirinya dan keluarga bisa hancur sama sekali.

Hal-hal di atas merupakan alasan-alasan bagi perlunya land reform pertanahan untuk mendukung inovasi pertanian ini. Dari segi peningkatan hasil pertanian, perbaikan pola pemilikan tanah seringkali dianggap sebagai kondisi awal yang diperlukan untuk pembangunan pertanian di berbagai NSB. Pada sebagian besar NSB, struktur pemilikan tanah yang sangat tidak seimbang barangkali merupakan satu-satunya penyebab yang paling penting yang menimbulkan ketidakseimbangan dalam pemerataan penghasilan dan kekayaan bagi rakyat pedesaan. Apabila pembagian tanah sangat timpang, maka sedikit sekali harapan bagi petani kecil di pedesaan untuk ikut berperan mengembangkan perekonomiannya.

Andaikan program-program penataan kembali pola pemilikan tanah bisa dilaksanakan secara efektif oleh pemerintah, maka dasar bagi transisi dari pertanian subsisten ke pertanian modern dengan memperbaiki tingkat output dan meningkatkan taraf hidup bagi rakyat pedesaan akan menjadi kenyataan. Tetapi jika program-program penataan kembali pola pemilikan tanah ini hanya merupakan ketentuan dan peraturan saja tanpa ada tindakan yang efektif, maka tidaklah ada jaminan untuk suksesnya pembangunan pertanian dan pedesaan.

Modernisasi dan Perubahan Sikap Masyarakat

Modernisasi dan Perubahan Sikap Masyarakat

Seperti diutarakan terdahulu bahwa sikap hidup masyarakat bukanlah suatu hal yang statis tanpa adanya perubahan-perubahan sebab dalam setiap kehidupan selalu terjadi perubahan. Perubahan terjadi akibat pengaruh lingkungan, pengaruh nilai budaya baru dari luar, akibat proses modernisasi itu sendiri. Akan tetapi, karena sifat masyarakat, lebih-lebih yang masih hidup di lingkungan alam pertanian tradisional maka perubahan-perubahan itu umumnya hanya dapat terjadi dalam proses yang perlahan-lahan, tidak dapat berjalan dengan sendirinya secara cepat dan sekaligus.

Dengan demikian untuk suksesnya pembangunan dan tercapainya kemakmuran dalam masyarakat, maka sikap hidup tradisional itu perlu disesuaikan dengan cara yang tepat dan dalam jangka waktu yang lebih cepat dari pada hanya diserahkan berkembang begitu saja menurut keadaannya. Disinilah pentingnya peranan faktor kepemimpinan masyarakat sebagai agent of modernization, perluasan komunikasi massa, penyuluhan dan pendidikan masyarakat dan sekaligus sebagai model acuan untuk menunjukkan contoh keberhasilan.

Apabila ditinjau dari sisi usaha tani, usaha tani tradisional umumnya berupa kegiatan subsisten dan mengandalkan elemen-elemen biologis yang berfungsi dalam suatu sistem yang dinamis untuk menghasilkan produksi tertentu dalam kurun waktu tertentu. Pada umumnya petani memanfaatkan tanah sebagai bagian dari sistem alami, sedangkan sebagian besar ekologi yang tidak tersentuh disebut “zona vegetasi” dimana zona ini relatif tidak berubah sepanjang waktu. Sistem ekologi demikian umumnya tidak produktif bagi ukuran usaha tani yang memiliki tujuan ekonomi karena keberadaan zona vegetasi diharapkan menyediakan keluaran berupa ketersediaan sumber air alam atau keberadaan hewan dan ternak. Namun dengan terjadinya perubahan teknologi dan sikap terhadap kegiatan usaha tani, terutama dengan terjadinya invansi teknologi pertanian secara tajam, sifat kegiatan usaha tani subsisten berangsur-angsur berubah kearah pembentukan sistem artifisial yang membutuhkan input ekonomi secara berkesinambungan .

Salah satu kekuatan utama dalam mekanisme perubahan ini adalah fakta bahwa perjalanan waktu memberikan kesempatan inovasi bagi pelaku-pelaku kegiatan usah tani. Dalam proses inovasi timbul kesempatan untuk memanfaatkan sumberdaya secara lebih efektif sekaligus memberi kesempatan untuk meningkatkan mobilisasi penggunaan sumberdaya tersebut (bahan bakar fosil, phosphat alam, dll). Inovasi-inovasi yang terjadi ini berbarengan dengan terjadinya perkembangan penduduk, pembentukan modal dan perkembangan ekonomi, lingkungan ekonomi dan kondisi sosial-budaya masyarakat pertanian.

Secara fisik, perubahan yang timbul akibat modernisasi dan industrialisasi terlihat dalam bentuk peningkatan produksi dan produktivitas usaha tani dan kegiatan pertanian pedesaan. Lebih jauh lagi berbagai data statistik menunjukan perubahan negatif berupa penyingkiran tenaga kerja yang tidak mampu beradaptasi dengan teknologi pertanian yang diarahkan untuk meningkatkan produksi dan mengubah orientasi subsisten menjadi sistem ekonomi dan industri.

Akan tetapi perubahan yang bersifat non fisik seperti perubahan sikap dan persepsi terhadap pertanian dan industri sulit dikuantifikasikan dan karenanya sulit ditunjukkan secara fisik. Pengambilan keputusan yang merupakan elemen penting dalam suatu proses produksi merupakan salah satu faktor yang sulit dideteksi perubahannya. Namun demikian, secara intuitif petani subsisten umumnya menganut dan menerapkan tindakan trial and error, yaitu tindakan mencoba-coba, kalau salah perbaiki dan coba lagi. Tindakan ini semakin mengarah pada kondisi tertentu yang memberikan kepuasan tertinggi dalam melaksanakan kegiatan usaha tani. Sikap dan kecenderungan mencari jalan keluar yang memuskan ini diturunkan dari generasi ke generasi dan secara intuitif berkembang menjadi sikap dan persepsi yang dianut dan diterapkan.

Kondisi lain yang bebeda dengan kondisi di atas adalah upaya untuk nenuju kepada kecenderungan mencari sistem yang lebih terbuka sebagai jalan keluar terbaik bagi kegiatan produksi yang tengah dijalani, tatapi umumnya dengan meminimumkan resiko yang mungkin timbul. Inilah rasional yang ada di belakang pertimbangan petani untuk memilih tetap menjalankan usaha seperti yang telah dijalankannya bertahun-tahun, yang meskipun hasilnya relatif rendah tetapi resiko kegagalan pengusahaannya berdasarkan pengalaman mereka selama ini relatif kecil peluangnya.

Penggunaan teknologi modern dalam pertanian yang terbelakang sering sangat rendah. Walaupun di beberapa kegiatan negara berkembang mesin dan pupuk telah digunakan dalam kuantitas yang lebih besar, intensitas penggunaan masukan modern biasanya belum tinggi. Dengan demikian tingkat pemakaian teknologi baru pada pertanian terbelakang tetap rendah.

Beberapa di antara faktor penyabab keterbelakangan teknologi di kalangan petani adalah:

(1) Ketidaktahuan petani akan metode pengusahaan tanah alternatif dan modern sebagai akibat pendidikan yang sangat rendah dan penyebaran informasi yang tidak memadai.

(2) Tidak ada metode produksi alternatif yang “tepat guna” untuk kondisi setempat.

(3) Resiko dan hasil alternatif dari penggunaan teknologi baru. Jika petani menganggap resiko ini tinggi, dan hasilnya rendah, maka rangsangan untuk menggunakan teknologi baru itu akan kecil.

Sistem transportasi dan perhubungan yang buruk di daerah pedesaan, menyebabkan pasar produk dan faktor produksi menjadi mahal bagi petani. Kemiskinan dan pendapatan rendah sejumlah besar petani di pedesaan, dibarengi tidak adanya kredit yang cukup, fasilitas pemasaran yang memadai dan asuransi yang cocok untuk mereka. Badan kredit yang telah ada umumnya mendiskriminasikan permintaan pinjaman petani gurem hanya karena kelayakan mereka untuk memperoleh kredit dianggap lebih rendah dan tingkat kegagalan mengembalikan kredit lebih tinggi. Petani gurem terpaksa meminjam dari para lintah darat, dengan demikian ketidaksempurnaan pasar dan keterbatasan kredit menghalangi teknologi.

Sejumlah faktor politik dan kelembagan penting dapat mengabadikan kemacetan pertanian. Petani miskin tidak banyak mempunyai kekuasaan politik, tuan tanah bertindak sebagai pemberi kredit terhadap petani penggarapnya sehingga petani penggarap menyawa tanah dari lahan orang yang menjadi tempat dia berutang. Tidak sedikit pula kepentingan petani disuarakan semata-mata untuk membungkus kepentingan pihak lain agar kelihatan lebih populis. Di Indonesia sudah lazim terjadi perkumpulan petani misalnya dipimpin oleh seorang jenderal, atau seorang pengusaha real estate, presiden komisaris sebuah hotel ternama dan sejenisnya. Sebetulnya hal itu tidaklah merupakan masalah besar kalau tokoh-tokoh yang diharapkan bersuara untuk petani tersebut benar-benar menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Lebih sering terjadi petani dijadikan alat saja untuk mencapai agenda mereka yang sebenarnya.

Teknologi dapat disesuaikan dengan kondisi lokal maupun seleksi dan adaptasi. Seleksi menentukan mana teknologi yang tersedia di negara maju yang dapat ditransfer di negara sedang berkembang, sedangkan adaptasi mencakup modifikasi teknologi tersebut bila transfer dilakukan. Kedua bentuk penyesuaian itu berkait, karena pada para produsen alat-alat/industri terdapat kecenderungan kuat untuk memilih teknologi yang paling mudah diadaptasi.

Secara teoritis, setiap upaya penerapan teknologi untuk kepentingan medernisasi/industrialisasi masyarakat pedesaan selalu akan dibarengi dengan korbanan yang terjadi sebagai akibat ketidakmampuan kelompok masyarakat ekonomi lemah dan status sosial rendah umumnya selalu tertinggal dalam proses inovasi teknologi dan proses pembangunan. Bentuk kelembagaan lokal dengan fungsi kontrol mulai bergeser dengan masuknya nilai baru yang berorientasi ekonomi yang mengandalkan pada efisiensi dan efektivitas, baik efesiensi teknis maupun efeisiensi kelembagaan. Merebaknya sistem imbal finansial terhadap jasa yang diberikan seseorang dalam beberapa keadaan telah menggeser nilai tolong-menolong tradisional yang disebut gotong royong.

Pendekatan dan upaya pemecahan masalah dengan menerapkan falsafah partisipasi hendaknya mengarah kepada negosiasi yang berakhir pada konsensus yang disepakati oleh semua pihak yang berkepentingan (stake holders).

4.3. Transformasi Struktur Pertanian di Pedesaan

Pembangunan pertanian Indonesia dalam kurun waktu 1990an sesungguhnya telah mengacu pada pendekatan agribisnis khususnya bidang pangan. Dalam arti telah melihat pentingnya keterkaitan beberapa kegiatan yang saling menunjang, walaupun tidak selalu dilakukan secara integral dalam suatu sistem. Pembangunan pabrik pupuk, pengembangan koprasi, penemuan bibit unggul, penanganan pasca panen adalah beberapa contoh kegiatan pembangunan yang memiliki keterkaitan erat dengan kegiatan usaha tani. Hal ini kemudian diwujudkan dengan mengembangkan dan melaksanakan berbagai program pembangunan pertanian. Salah satu yang dinilai paling sukses adalah Bimas padi, dengan berbagai tahap perkembangan program kegiatan dari pilot proyek hingga Supra Insus.

Namun demikian pembangunan petanian saat ini sangat terkonsentrasi pada pembangunan usaha tani (on farm). Hal ini dapat dimengerti mengingat tahap perkembangan kegiatan usaha tani Indonesia yang baru akan beranjak dari tahap subsisten menuju kegiatan yang terkait dengan pasar. Di samping itu kebutuhan yang besar akan produk pertanian, khususnya bahan pangan menyebabkan reorientasi kegiatan pertanian memang perlu dititikberatkan pada peningkatan produksi. Kondisi ini kemudian tercermin pada pembangunan pedesaan pada umumnya. Dimensi pengembangan usaha sangat dominan baik sarana dan prasarana, pembangunan kelembagaan, dan bahkan pembangunan organisasi desa.

Proses pembangunan pertanian dengan strategi peningkatan produksi telah mencapai sasaran yakni petani Indonesia mempunyai kemampuan untuk meningkatkan produksi dengan baik sehingga tercapai swasembada beras sebagai bahan pangan utama masyarakat. Tetapi terjadi masalah baru berupa kelebihan produksi (over production) yang kemudian menimbulkan kelebihan penawaran (over supply) dan akhirnya harga rendah serta nilai tukar yang merugikan petani (Saragih and Krisnamurti, 1996). Dilain pihak harga input-input pertanian dan kebutuhan konsumsi mengalami peningkatan harga, sehingga petani mengalami tekanan finansial yang berat.

Secara teoritis produksi bahan baku yang tinggi dari kegiatan usaha tani kemudian menciptakan peluang usaha dalam bidang industri, penanganan pasca panen, industri pengolahan, dan pemasaran hingga tingkat eceran. Hal ini didukung data pada tahun 1988-1993, misalnya ; ekspor produk pertanian dalam bentuk bahan mentah tumbuh sekitar 5,3% setahun, sedangkan ekspor produk industri tumbuh sekitar 17,2%. Namun demikian, jika dilihat dari jenis komoditas yang dimaksudkan kedalam produk industri, ekspor plywood tumbuh sekitar 28,1%, kayu olahan lain 21,7%, karet olahan 10,5%, minyak sawit 21,7%, furniture dari rotan, kayu atau bambu 79,9%, serta kertas dan produk kertas 75,5% dimana produk-produk tersebut tergolong sebagai produk agribisnis.

Perlu dipertimbangkan tinjauan beberapa peneliti, bahwa perubahan struktur PDB tidak seiring dengan perubahan struktur penyerapan tenaga kerja yang menjadi masalah utama dalam hal proses transformasi struktural perekonomian Indonesia. Rendahnya daya serap tenaga kerja sektor industri, sektor yang paling pesat pertumbuhannya sangat memberatkan sektor pertanian. Pertama, oleh karena sifatnya yang sangat akomodatif terhadap penyarapan tenaga kerja, sektor pertanian terpaksa menampung tenaga kerja melebihi kapasitasnya, sehingga menanggung beban pengangguran yang sangat tinggi. Kedua, perubahan struktur PDB yang tidak seiring dengan perubahan struktur penyerapan tenaga kerja telah manimbulkan kesenjangan pendapatan sektoral yang sangat lebar. Ketiga, tingkat pengangguran yang tinggi dan redahnya produktivitas tenaga kerja merupakan penyebab utama tingginya proporsi penduduk yang miskin di sektor pertanian dan di pedesaan pada umumnya (Simatupang dan Mardianto,1996).

Belajar dari pengalaman ekonomi Indonesia sendiri, maupan negara-negara lain, transformasi struktural harus dapat diarahkan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkesinambungan sekaligus menunjang usaha penanggulangan kemiskinan. Dengan demikian transformasi struktural yang diharapkan terjadi adalah transformasi sturktural yang seimbang.

Proses transformasi struktural ditentukan oleh pemilihan konsep industrialisasi. Pemilihan konsep industrialisasi ini sebenarnya tidak bisa langsung meniru dari negara lain yang dianggap berhasil, karena bagaimanapun juga banyak sifat-sifat spesifik masyarakat yang menjadi variabel tersembunyi yang tidak sama dengan sifat-sifat masyarakat dimana konsep industrialisasi tersebut telah berhasil diterapkan dengan baik. Bagi Indonesia, industrialisasi seyogyanya harus mendasarkan pada pengembangan kemampuan untuk memenuhi permintaan domestik dengan jenis, kualitas dan kuantitas produk yang sesuai sehingga menguasai pasar.

Pengembangan agroindustri adalah salah satu contoh bentuk kegiatan yang berorientasi pada penguasaan pasar domestik. Pengembangan agroibdustri ini bukan hanya bagi kepentingan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga bagi kepentingan penangkatan kesempatan kerja dan peningkatan ekspor. Secara menyeluruh merupakan wujud transformasi struktural ekonomi Indonesia, yaitu dari “on farm agribusiness” menjadi “off farm agribusiness” dengan agroindustri sebagai “leading sector”. Oleh sebab itu strategi transformasi perlu diarahkan agar pengembangan kegiatan “off farm” juga dapat dinikmati hasilnya oleh para petani dan masyarakat pedesaan yang saat ini telah memberi sumbangan besar pada kegiatan “on farm”.