MODERNISASI DAN PEMBANGUNAN PEDESAAN
Pembangunan (development) menurut Todaro (1985) adalah proses multidimensional, melibatkan reorganisasi dan reorientasi aspek sosial, ekonomi maupun politik, sedangkan modernisasi lebih menitik beratkan pada terselenggaranya teknologi baru dalam memperoleh efisiensi kerja. Aspek pembangunan meliputi meningkatnya taraf hidup manusia dengan terpenuhinya kebutuhan , meningkatnya harga diri dan menungkatnya kebebasan memilih barang maupun jasa. Cakupan perubahan dalam pembangunan adalah dimensi kebudayaan, dimensi system dan dimensi proses yang menjadikan serasinya kemajuan. Bila demikian maka pembangunan itu adalah dikembangkannya penggunaan ide baru rekayasa sosial dan rekayasa teknologi secara berencana, mencakup semua aspek kehidupan yang dilakukan menurut profesi secara berkelanjutan dalam meningkatkan kualitas hidup yang berimbang di masyarakat.
Sementara itu modernisasi terjadi sejak ditemukannya alat dan mesin yang menggantikan tenaga kerja manusia , hewan maupun sumberdaya alam. Modernisasi dimulai pada abad XVIII di Inggris yaitu dengan adanya revolusi industri. Revolusi industri telah mengubah struktur dan proses kerja. Modernisasi adalah perubahan yang bertolak dari dukungan alat dan teknologi baru dengan tujuan efisiensi, sedangkan pembangunan bertolak dari perubahan perilaku sumberdaya manusia pelaku pembangunan dadalam menggunakan alat dan mesin untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih sejahtera. Modernisasi juga bisa dilihat sebagai perubahan karena adanya teknologi baru dalam meningkatkan pertumbuhan produksi dan pembangunan adalah perubahan sosial, ekonomi dan budaya dalam meningkatkan kualitas hidup. Dilihat dari cakupannya, modernisasi mengandung arti mengubah tradisi dan cenderung pada perubahan meteriil dahulu, perubahan susunan dan pola masyarakat jarang dikaitkan dengan modernisasi. Walaupun demikian itu perubahan sikap dan sistem nilai tidak dikeluarkan dari jangkauan pengertian dan istilah modernisasi, karena itu aspek pendidikan, komunikasi dan bahkan ideologi dipentingkan.
Perbedaan modernisasi dan pembangunan itu adalah terletak pada pemberian kesempatan dan rangsangan yang lebih baik kepada masyarakat pada pembangunan. Hal ini kurang diperhatikan dalam modernisasi. Pembangunan pada dasarnya adalah upaya untuk pencapaian taraf hidup yang lebih baik. Kita menyadari bahwa pendekatan ekonomi saja sebagai kunci dari pada permasalahan pembangunan nasional tidaklah cukup. Oleh karena itu pada rencana pembangunan jangka panjang diperlukan pendekatan secara interdisipliner (interdisiplinary approach) yang menyangkut pendekatan dibidang ekonomi, sosial, politik, budaya, pendidikan dan sebagainya.
Indonesia sebagai negara agraris, melakukan pembangunan pertanian dengan tujuan meningkatkan pendapatan, kesejahteraan dan tarap hidup masyarakat pertanian dalam prons pembangunan melalui peningkatan kualitas dan kuantitas produksi, distribusi, keanekaragaman hasil-hasil pertanian, penanganan pasca panen serta pemasaran.
Sektor pertanian memberikan sumbangan yang cukup besar bagi perekonomian Nasional. Hal ini ditunjukkan dengan mayoritas penduduk Indonesia hidup di pedesaan dengan pertanian sebagai sumber pendapatan petani. Sehingga pembangunan pertanian biasanya identik dengan pembangunan pedesaan, transfer teknologi, tenaga kerja pedesaan, pertumbuhan institusi pedesaan, peningkatan produktivitas, urbanisasi dan lain-lain.
Pembangunan pertanian disatu pihak dan modernisasi di pihak lain merupakan dua topik yang selalu bersama-sama dibicarakan sesuai dengan perkembangan iptek, ekonomi, hubungan antar wilayah dan antar negara yang membawa konsekuensi sesuai tuntutan masing-masing.
Modernisasi ditandai dengan tumbuhnya industri-industri baru oleh para investor dalam negeri dan dari luar negeri, dimana Indionesia merupakan negara yang menarik bagi para investor diantaranya karena tenaga kerja yang sangat melimpah dengan upah yang lebih murah. Modernisasi juga telah membawa dampak yang positif terhadap pembangunan pertanian dengan dukungan penyediaan pupuk, obat-obatan pertanian, bibit unggul dan penangan pasca panen yang mendukung peningkatan produktifitas pertanian, tapi yang lebih penting bagi masyarakat tani adalah peluang kerja yang diperoleh dari industri tersebut memberikan nilai tambah yang cukup besar (Sajogo, 1996). Modernisasi juga mengalami benturan dan kendala terutama dalam industrialisasi pertanian pedesaan berawal dari perbedaan persepsi terhadap kedudukan dan fungsi teknologi serta peran kelembagaan lokal.
4.1. Pergeseran Nilai Tradisional ke Nilai Modern
Masyarakat modern dengan nilai dan tujuan ekonomi yang lebih menonjol cenderung memandang sumberdaya pedesaan sebagai suatu komoditas yang secara ekonomi dapat meningkatkan nilai finansial bagi kelompok tertentu, dimana produktivitas dalam rentang waktu tertentu merupakan pertimbangan utama. Sebaliknya masyarakat tradisional dan para industri memandang sumber daya yang sama sebagai milik ulayat yang harus dijaga kelestariannya untuk kepentingan jangka panjang. Bagi mereka aspek pemerataan lebih penting dari produktivitas.
Kelembagaan tradisional umumnya lebih memperhatikan aspek pelestarian untuk kepentingan anak cucu mereka di masa mendatang. Namun munculnya organisasi ekonomi yang disertai nilai-nilai barat perlahan-lahan mengubah nilai radial kebersamaan kearah nilai finansial yang kurang mempertimbangkan aspek pemerataan.
Di lain pihak kalangan petani yang memiliki wawasan lebih luas dan terbuka menerima peubahan ini sebagai upaya untuk menuju kepada kecenderungan mencari sistem yang lebih terbuka sebagai jalan keluar terbaik bagi kegiatan produksi yang tengah dijalani. Kalangan ini cenderung mempertahankan usaha taninya dengan mengandalkan diri sepenuhnya (atau sebagian) kepada ketersedian input eksternal. Bagi mereka moderniasasi dapat membuka peluang inovasi, dan inovasi yang selaras dengan kebutuhan pertanian adalah inovasi yang berkaitan erat dengan input industri dan proses industrialisasi serta pemasaran yang baik.
Inovasi seperti ini cenderung menuntut hubungan yang lebih kuat dengan sistem lain diluar usaha tani setempat serta mengurangi ketergantungan terhadap hubungan internal. Sistem kerja tanpa imbalan berganti menjadi sistem upah (harian, borongan dan lain-lain). Saling ketergantungan akan kebutuhan tenaga menjadi berkurang dan hubungan dengan sumberdaya dari luar sistem usaha tani lebih bersifat ekonomis, dari pada bersifat hubungan radial seperti sebelumnya (Suradisastra, 1996). Munculnya organisasi ekonomi yang disertai nilai-nilai Barat perlahan-lahan mengubah nilai radial kearah finansial.
Kondisi di atas bukan saja karena perbedaan persepsi terhadap tujuan pengembangan masyarakat pedesaan, namun juga disebabkan oleh perbedaan nilai dan norma sosial dan ekonomi yang dalam proses globalisasi dibawa dari nilai Barat yang lebih berorentasi ke arah nilai finansial diukur dengan peningkatan pendapatan. Sedangkan sukses dan kesejahteraan dalam nilai tradisional lebih bersifat komunal dan tercermin dari nilai-nilai lokal antara lain berupa tepo-sliro dan kerukunan individu.
Kamaluddin (1983) menyebutkan beberapa sikap tradisional dalam masyarakat yang tidak sesuai dengan keperluan pembangunan dan modernisasi. Diantaranya ialah :
(1) Sikap lambat menerima perubahan atau hal-hal yang baru sungguhpun akan menguntungkan mereka.
(2) Sikap lebih suka mencari jalan yang paling mudah dan cepat mendatangkan hasil sungguhpun tidak begitu besar, sebaliknya kurang berani memikul resiko pada usaha-usaha yang kemungkinan keuntungannya lebih besar dan sifatnya jangka panjang.
(3) Sikap kurang bertanggung jawab dalam tugas pekerjaan serta mudah untuk tidak menepati janji dalam hubungan-hubungan ekonomi.
Pada umumnya sikap-sikap hidup yang demikian itu lebih berakar dan lebih banyak terdapat di kalangan masyarakat pertanian tradisional. Dan semakin berkembang kehidupan ekonomi serta makin jauh pengaruh lingkungan alam tradisional, maka sikap hidup yang demikian itu telah semakin berkurang.
Namun demikian harus diingat bahwa munculnya sikap tersebut bukan merupakan indikasi bahwa petani tradisional tidak rasional. Sebaliknya justru kita sering merasa lebih pintar sehingga kita tidak berusaha memahami petani dari sudut pandang mereka sendiri. Apa yang dikemukan Kamaluddin di atas memang benar merupakan potret umum petani kita. Namun sebenarnya sikap mereka juga dilandasi pertimbangan rasional. Apa yang sering luput dalam pengamatan para ahli umumnya adalah bahwa petani kita juga memperhatikan aspek keamanan pangan dalam kebijakan produksi mereka, sementara kebanyakan ahli kita hanya memperhitungkan pada aspek finansial komersilnya saja. Sikap menghindari resiko (risk aversion) misalnya, ini merupakan hal lumrah bagi petani yang penguasaan resourcenya sangat terbatas. Bila gagal mereka tidak memiliki alternatif yang lain untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sementara sebagian ahli hanya melihat bahwa potensi produksinya besar, namun resiko dan pertimbangan keamanan pangan luput dari perhatian mereka.
Petani kita memang lambat menerima inovasi baru. Hal itu sebetulnya bisa dipahami dalam kaitan dengan penjelasan di atas. Mereka ingin memperoleh tingkat kepastian yang lebih tinggi bahwa hal baru tersebut memang menguntungkan. Dalam bisnis besarpun sesungguhnya pertimbangan ini juga dilakukan, besarnya resiko dan ketidakpastian merupakan faktor yang harus dipertimbangkan sebagai nilai negatif terhadap suatu usaha atau proyek yang akan dijalankan.
Sementara sifat yang ketiga tampaknya hal ini tidak merupakan sifat spesifik petani. Sifat ini juga dengan mudah kita jumpai pada pengusaha-pengusaha besar dalam berbagai bidang. Ini lebih merupakan karakteristik personal orang per orang daripada merupakan atribut umum yang melekat pada petani.
Sebagai kesimpulan, memang petani kita hidup sederhana dan bersahaja, namun salah sekali anggapan yang mengira bahwa mereka bodoh, tidak terampil dan tidak berpengetahuan. Seungguhnya mereka berpengetahuan dan terampil pada tingkat yang sesuai dengan kebutuhan mereka sebagai refleksi dari kesadaran mereka akan kualitas dan kuantitas sumberdaya yang mereka kuasai. Tidak ada bukti yang kuat yang menunjukkan bahwa sikap hidup mereka tersebut dapat menghambat kemajuan, pembangunan dan modernisasi. Sebaliknya, kegiatan pembangunan justru akan terhambat kalau pelaksanaannya tidak concern dengan sifat, sikap dan potensi spesifik di lokasi.
Sabtu, 10 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar